Sabtu, 10 Juli 2021

KRITIK/ESAI SASTRA DARI KUMPULAN CERPEN

KARYA M. SHOIM ANWAR

(“Sorot Mata Syaila”, “Sepatu Jinjit Aryanti” , “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue”, “Tahi Lalat”, dan “Jangan ke Istana Anakku” )

 

Sebagaimana pada pekan-pekan sebelumnya, kali ini saya akan membuat sebuah kritik/esai dari kumpulan sebuah cerpen, yang terdiri dari lima cerpen yang seluruhnya ditulis atau karangan dari M. Shoim Anwar, seorang sastrawan yang lahir di Desa Sambung Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan sosok yang cerdas dan dapat dijadikan sebagai inspirator para mahasiwa, khususnya para pemuda pecinta sastra, terbukti bahwa beliau mampu menyelesaikan program S2 dan S3 dengan predikat cumluade. Selain itu, karya-karya yang beliau tulis cukup banyak, seperti puisi, cerpen, dan lain-lain. Bahkan di dalam laman blog milik Liliek Sobari yang diunggah pada September 2017, ia menuliskan sosok M. Shoim Anwar sebagai Sang Doktor Cerpenis. Hal itu cukup beralasan mengingat banyak cerpen-cerpen karangan yang beliau suguhkan melalui berbagai media. Bahkan cerpen miliknya juga masuk dalam antologoi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Perancis.  Merupakan sebuah pencapaian sangat mentereng dan tentu dari pencapaian-pencapaian beliau tersebut, tentu para pencinta sastra khususnya dari kalangan muda tidak perlu ragu dalam meminta arahan, pengetahuan, serta pengalaman dari beliau, sehingga diharapkan dapat menginspirasi dalam hal menulis sebuah karya sastra di masa yang akan datang.

Seperti halnya yang saya katakan di awal tadi, bahwa hal yang akan saya lakukan kali ini yaitu membuat esai dari kumpulan cerpen yang terdiri dari 5 cerpen yang berjudul diantaranya, “Sorot Mata Syaila”, “Sepatu Jinjit Aryanti”, “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue”, “Tahi Lalat”, dan “Jangan ke Istana Anakku”. Setelah membaca cerpen-cerpen yang memiliki judul di atas, jika dilihat dari segi penulisan, penulis sangat pandai dan sangat baik dalam memilih kata-kata. Pemilihan kata yang ditulis oleh penulis mampu menghipnotis mata bagi para pembaca, sehingga ketika seseorang hendak membacanya, ia akan secara terus-menerus semakin penasaran terhadap kelanjutan isi dari cerpen-cerpen tersebut. Selain itu hal yang dituangkan dalam cerpen-cerpen tersebut dapat dikatakan memiliki keteraturan atau sepadan dengan realita yang terjadi di dalam kehidupan. Kelima cerpen tersebut merupakan sebuah cerpen yang memiliki kesamaan dari segi tema, yaitu sama-sama membahas mengenai sebuah permasalahan di dalam kehidupan. Namun, masing-masing untaian yang tertuang dalam setiap kata yang ditulis oleh penulis bernama M. Shoim Anwar tersebut memiliki orisinalitas masing-masing sehingga maksud yang ingin disampaikan oleh penulis terhadap pembaca tetap berbeda-beda. Mengingat sebagaimana yang kita ketahui bahwa di dalam dunia kehidupan tentu kita seringkali menjumpai permasalahan-permasalahan yang ada,baik itu ddalam segi sosial, politik, dan lain-lain.

Di dalam salah satu cerpen tersebut terdapat gambaran seorang koruptor yang tentu keberadaannya sangat merugikan, di dalam lanjutan ceritanya tersebut, seorang koruptor tersebut hendak melarikan diri dan menjadi buruan polisi karena perbuatannya sangat merugikan Negara. Dilihat dari kaburnya seorang koruptor tersebut dapat kita asumsikan bahwa seseorang yang melakukan penggelapan dana itu sangat tidak memiliki tanggung jawab atas perbuatan yang ia lakukan sehingga ia lari dari kejaran polisi. Bahkan keluarganya dilarang berbicara tentangnya, dan justru disuruh bungkam. Kejadian seperti ini, jika dikaitkan dengan kehidupan nyata sangat ada kaitannya mengingat sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama bahwa di Negara kita sangat banyak dijumpai seorang koruptor dimana-mana, dan itu seringkali dijumpai pada pejabat-pejabat Negara yang lebih mengutamakan kepentingannya sendiri dibandingkan kepentingan rakyat, sehingga uang yang semestinya untuk rakyat justru dimakan sendiri. Kejadian seperti ini juga sangat berbahaya bagi generasi muda saat ini, sehingga generasi saat ini harus benar-benar dikorek otaknya agar ketika menginjak usia dewasa dan terjun dengan masyarakat tidak meniru perbuatan yang tidak patut ditiru tersebut.

Kejadian lain dalam ranah politik juga ditemukan di dalam kumpulan  cerpen tersebut yaitu mengenai keberadaan seorang lurah yang tidak bisa menjadi teladan bagi rakyatnya. Banyak janji-janji palsu yang ia janjikan kepada rakyat ketika pencalonan dimulai. Bahkan Pak lurah tersebut sering mengelabuhi rakyatnya seakan-akan rakyat tersebut yang mudah untuk diperlakukan seenaknya. Selain itu hal yang tidak patut dijadikan contoh yaitu ketika Pak lurah hendak mengambil tanah milik rakyat untuk dijadikan sebagai perumahan elit, tentu hal tersebut sangat merugikan rakyat. Hal demikian juga sering kita jumpau di dalam kehidupan nyata, yaitu terlihat banyak pejabat pemerintahan di tingkat manapun yang ketika tahap pencalonan seringkali mengeluarkan rayuan-rayuan dengan memberikan janji-janji, tetapi ketika sudah terpilih janji-janji yang pernah diucapkan pun hilang seketika, dalam praktiknya justru seringkali merugikan rakyat. Tentu hal seperti ini juga sangat berdampak buruk terhadap generasi muda saat ini jika tidak diberi arahan yang baik mulai sejak sedini mungkin.

Selain kejadian tersebut, ada hal yang cukup menarik di dalam kumpulan cerpen tersebut, salah satunya yaitu dalam tulisan M. Shoim Anwar ketika menggoreskan tintaya dalam cerpen Sepatu Jinjit Aryanti, mengingat hal yang dituangkan di dalam cerpen tersebut sangatlah menarik. Disamping gambaran cerita di dalamnya yang meceritakan bahwasanya keberadaan Aryanti yang terlibat dalam kasus pembunuhan yang kemudian sosok aryanti tersebut bertemu dengan tokoh “Aku” yang menjadi jagoan atau penyelamat bagi dia. Namun, disisi lain ada hal yang cukup menarik yaitu mengenai goresan penulis yang seolah-olah mengajak kita sebagai pembaca untuk dapat terlibat di dalam cerita tersebut mengingat ada kisah yang bernuansa romantic pula dalam cerpen tersebut. Saya rasa penulis sangat pandai dan cukup humoris dalam menuangkan imajinasinya sehingga dapat memberikan respect yang baik bagi pembacanya. Dari kejadian yang tertuang dalam cerpen tersebut dapat kita simpulkan bahwa keberadaan seorang wanita tidak akan dapat terlepas dari kekuasaan seseorang mengingat banyak misi-misi yang terselubung yang dapat diselesaikan dengan memperalat keberadaan seorang wanita. Terbukti bahwa yang terjadi di dalam dunia nyata tidak sedikit wanita yang terlibat dalam kasus pembunuhan, narkoba dan lain-lain.

Suguhan lain di dalam kumpulan cerpen tersebut dapat kita temukan lagi yaitu dalam permasalah janji yang tidak ditepati. Hal itu dapat kita lihat dari cerpen “Bambi dan Perempuan Berselendang Baby Blue” yang mengisahkan tentang seseorang yang memiliki janji di dalam sebuah siding pengadilan namun tidak mampu ia tepati, sehingga membuat tokoh “Saya” dalam cerpen tersebut murka mengingat ia sudah merasa dijanjikan oleh Bambi sebagai hakim tunggal untuk menang dipersidangan, namun yang terjadi tidak sesuai dengan janji yang telah disepakati. Namun, dalam pembahasan mengenai Bambi ini terdapat kata-kata yang sulit saya pahami. Memang dari segi cerita dapat memberikan respect yang baik bagi pembaca, tetapi dari segi pilihan kata yang menggunakan bahasa jawa tidak semuanya dapat saya pahami dan mungkin terjadi pula bagi pembaca-pembaca lain, seperti gacoan.  Saya sendiri sebagai orang jawa pun tidak mampu memahaminya apalagi pembaca yang tidak berasal dari jawa, sehingga dibutuhkan penjelasan sedikit mengenai arti atau bahkan persamaan dari kata tersebut dapat dituangkan dalam cerpen itu pula sehingga hal itu tidak menghalangi keseruan pembaca, dan tidak menghalangi pemahaman bagi pembaca pula.

Selain itu, terdapat pula kisah seorang pejabat istana yang berlaku semena-mena dan justru merugikan warganya, dimana seorang istana justru memperkerjakan warganya layaknya budak. Hal itu tertuang didalam gambaran cerpen yang berjudul “Jangan ke Istana, Anakku”. Namun, seorang anak yang bernama Dewi dalam cerpen tersebut sangat menginginkan masuk ke dalam istana tersebut, tetapi orang tua Dewi melarangnya mengingat kedua orang tuanya sudah pernah diperlakukan buruk di dalam istana.

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, sebenarnya ada pesan yang dapat kita ambil di dalam kumpulan cerpen tersebut, bahwa hidup di era sekarang sangat banyak kejahatan yang ditemukan, entah dimanapun tempatnya baik di pemerintahan, atau dalam kehidupan bermasyarakat sangat benyak pengaruh-pengaruh buruk terhadap generasi muda untuk lebih berhati-hati. Mengingat, saat ini banyak orang yang tidak mampu bahkan tidak mau jujur, dan tanggung jawab terhadap apa yang telah ia perbuat. Justru yang ia mampu lakukan hanyalah mencari keuntungannya sendiri. Bahkan sekarang sangat banyak dijumpai kekerasan seksual yang terjadi dimana-dimana dengan memanfaatkan sosok perempuan. Oleh karena itu, sebagai generasi mudah hendaklah kita lebih berhati-hati dalam memilih pergaulan sehingga kita tidak terjerumus ke hal-hal yang menyesatkan. Sedini mungkin kita harus memiliki bekal yang cukup dan mematangkan pikiran sehingga ketika kita bergelut di dalam kehidupan bermasyarakat dapat terhindar dari sifat dan perilaku kejahatan yang dapat merugikan orang lain. Memang beberapa manusia atau bahkan mungkin hampir seluruh manusia menginginkan harta dan kekuasaan, bagi laki-laki tentu mengharapkan wanita pula, namun kepuasan-kepuasan tersebut perlu kita saring bahwa ketika dampaknya merugikan orang lain sebaiknya kita hindari.

Kumpulan cerpen karya M. Shoim Anwar sangat menarik bagi kalangan mahasiawa khususnya saya selaku mahasiswa yang mempelajari ilmu sastra di dalam perkuliahan. Selain itu adanya cerpen ini dapat memberikan pelajaran bagi para penguasa yang ada untuk berfikir jernih bahwa dimanapun kita berada, apapun posisi kita yang kita emban, hendaklah kita memiliki sifat jujur dan rasa tanggung jawab sehingga dalam menjalankan kehidupan kita tidak sampai merugikan orang lain mengingat ketika di hari akhir kelak apapun yang pernah kita lakukan akan dipertanggung jawabkan.   


Daftar Pustaka


Soebari, Lilik. 2017. "M. Shoim Anwar, Sang Doktor Cerpenis". 

Minggu, 27 Juni 2021

KRITIK / ESAI VIDEO KLIP “MAMA PAPA LARANG” CIPTAAN JUDIKA OLEH MAHASISWA UNIVERSITAS ADI BUANA SURABAYA

Pada kesempatan ini, saya akan memberikan ulasan terhadap suatu karya sebagaimana di pekan-pekan sebelumnya. Namun, jika di pekan-pekan sebelumnya karya yang saya ulas berbentuk puisi dan cerpen, berbeda dengan kali ini yang akan mengulas tentang suatu karya dalam bentuk video klip lagu yang berjudul “Mama Papa Larang” ciptaan Judika yang dibuat oleh mahasiswa Universitas PGRI Adi Buana Surabaya diantaranya yaitu Alfian, Lintang, dan Masnah.

Sebagaimana judul yang tertulis, lagu tersebut menceritakan tentang sulitnya mendapatkan restu dari orang tua baik dari papa maupun mama. Namun, diceritakan dalam lagu tersebut bahwa seorang lelaki yang tidak mendapatkan restu dari orang tua kekasihnya dalam mengarungi kisah cinta dengan kekasihnya selalu berusaha sungguh-sungguh dan keduanya saling memberikan dukungan dan semangat tanpa mengenal lelah untuk mendapatkan restu dari orang tua kekasihnya. Jika dilihat dari pemeran video kip tersebut tampak masing-masing dapat dikatakan sudah cukup baik dalam mengekspresikan setiap lirik lagu yang terucap dalam lagu tersebut serta sudah cukup menghayati.

Dalam video klip tersebut tentu ada pesan yang dapat kita ambil yaitu jika kita menginginkan ekspektasi kita tercapai, maka hal itu tidak hanya bisa dilakukan dengan diam dan menunggu, namun perlu sebuah perjuangan dan kegigihan untuk mencapainya, entah cobaan, rintangan, atau halangan apapun yang akan menghadang, kita harus yakin bahwa semua itu dapat kita lalui sehingga apa yang kita ekspektasikan dapat kita wujudkan. Hal itu tidak hanya berlaku dalam urusan  cinta saja, melainkan berbagai hal yang kita impikan.

Rabu, 16 Juni 2021

KRITIK / ESAI PUISI “MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA” KARYA TAUFIQ ISMAIL

Sebagaimana yang saya lakukan pada pekan-pekan sebelumnya, kali ini pula saya akan menuangkan kritikan atau ulasan dalam bentuk esai terhadap suatu karya sastra dalam bentuk puisi yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” karya seorang sastrawan bernama Taufiq Ismail yang lahir di Bukit Tinggi, pada tanggal 25 Juni 1935.

Berdasarkan judul puisi tersebut yang kemudian dilanjut dengan melihat, membaca serta  memahami isi yang terdapat dalam puisi yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” tersebut, dapat dijelaskan bahwa puisi tersebut menjelaskan tentang bentuk kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat terhadap keadaan suatu Negara, mengingat suistem pemerintahan yang dilaksanakan justru meresahkan rakyat. Padahal, sebagaimana dalam bait-bait awal pada puisi tersebut dituangkan perasaan bangga yang dirasakan oleh seorang anak muda karena negaranya diakui dunia akibat kegigihan para pahlawan guna memerdekakan sebuah Negara, yaitu Negara Indonesia.

Namun, kebanggaan itu luntur seketika dan berubah menjadi sebuah kekecewaan yang begitu besar, mengingat kesadaran akan pentingnya HAM tidak lagi diperhitungkan sehingga hukum tidak dapat ditegakkan dengan benar. Bahkan, yang terjadi banyak korupsi dimana-dimana, serta seringkali bantuan sosial yang semestinya ditujukan untuk masyarakat yang tidak mampu justru dimanfaatkan sendiri olrh prjabat-pejabat pemerintah, seakan-akan bahwa menjadi pejabat adalah kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tanpa harus memperhitungan kepentingan orang lain.

Hal itu pula yang menjadi dasar akan rusaknya sebuah Negara, akibatnya rakyat-rakyat menengah bawahlah yang merasakan penderitaannya. Hal itu tentu tidak lepas dari perlakuan oknum-oknum yang tidak memiliki rasa tanggungjawab karena lebih mementingkan dirinya sendiri sehingga masyarakat merasa lemah akibat penindasan tersebut dan tidak merasakan kemerdekaan sama sekali dan menganggap bahwa kemerdekaan hanyalah lambang atau simbol belaka. Akhirnya, keadaan seperti ini tentu memunculkan sebuah pemikiran dari kebanyakan rakyat kecil bahwa dirinya tidak bangga, tetapi justru malu menjadi orang Indonesia.

Minggu, 06 Juni 2021

 KRITIK / ESAI CERPEN "SETAN BANTENG" KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA 

Berikut ini, sebagaimana yang pernah saya lakukan di minggu-minggu yang lalu. Saya disini akan mengulas mengenai sebuah cerpen yang cukup menarik, bahkan ketika baru membaca judulnya pun akan memancing daya tarik seseorang untuk mengetahui isi yang ada dalam sebuah cerpen tersebut. “Setan banteng”, iya, itulah judulnya. Hanya dengan membaca judul yang cukup unik itulah membuat si pembaca seakan-akan bertanya bahwa apa yang dibahas dalam cerpen tersebut, serta adakah amanat yang dapat dipetik dari cerpen tersebut? Berikut inilah akan saya ulas dalam bentuk esai.

Cerpen yang berjudul “Setan Banteng” merupakan sebuah cerita pendek yang ditulis oleh sastrawan bernama Seno Gumira Ajidarma yang menceritakan tentang kehidupan seorang anak remaja bersama teman-temannya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Di dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa seseorang lahir dalam dunia ini memiliki karakter atau bahkan cara pandang yang berbeda-beda. Kenapa demikian? Terlepas dari pengaruh didikan orang tua atau bahkan sesuatu hal lain yang dapat mempengaruhi di masa kecilnya yang jelas itu semua terjadi atas kehendak yang maha kuasa. Perbedaan-perbedaan tersebut dijelaskan dalam cerpen tersebut bahwa terdapat segerombalan anak-anak yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang pemberani walaupun tanpa memikirkan dampak yang akan dialai, ada yang penakut tapi dengan berpikir apa yang akan ia alami jika ia memberanikan diri. Namun, di dalam dunia nyata tidak sedikit orang justru menghardik orang yang jika hanya dilihat kasat mata memiliki ketakutan, bahkan tidak sedikit orang seperti itu justru dijatuhkan. Padahal, dibalik ketakutannya tersebut terdapat pembelaan terhadap keselamatan dirinya.

Lain halnya dengan si pemberani yang tidak memikirkan segala dampak yang ditimbulkan dari keberaniannya tersebut, digambarkan dalam cerpen tersebut bahwa beberapa segerombalan anak sedang memainkan sesuatu yang berhubungan dengan hal mistis yang di dalam cerpen tersebut ada hubungannya dengan gambar yang diperlihatkan di depan tatapan segerombalan anak yang sedang melakukan permainan tersebut yaitu gambaran dari banteng yang tanpa disadari akan berdampak suatu malapetaka bagi mereka.  

Dalam permainan yang dilakukan oleh beberapa anak tersebut, salah satu anak yang memiliki tubuh paling besar jiwanya dirasuki oleh setan yang memiliki sikap dan karakter sebagaimana yang ada dalam gambaran tersebut yaitu hewan banteng. Anak yang kerasukan jiwanya itupun mengamuk dan menyerunduk sebagaimana hewan banteng. Pada saat inilah anak-anak yang lain justru lari dan menertawakannya, padahal itu semua merupakan sebuah malapetaka yang terjadi akibat permainan sembarang yang dilakukan.

Tentu, dalam dunia nyata saya pernah menjumpai bahwa ketika seseorang yang pada saat itu sedang memakai pakaian serba hijau sobek-sobek dengan memakai rambut palsu panjang dengan warna loreng dan ditambah dengan pemakaian gigi palsu yang berbentuk seperti drakula, seseorang tersebut mengatasnamakan dirinya dengan sebutan grandong dan berlagak tidak karu-karuan, niat awalnya memang pemakaian atribut-atribut hanya dianggap sebagai permainan untuk memperlihatkan kepada orang lain atau bahkan dipakai untuk menakut-nakuti orang. Namun, tidak disangka selang beberapa waktu kemudian jiwanya justru kerusakan kuku yang sebelumnya pendek tiba-tiba memanjang, ia tak sadarkan diri dan tak terkendali jiwanya dipenuhi dengan perasaan marah dan matanya pun melotot sehingga kejadian itu sangat meresahkan warga.

Berdasarkan apa yang saya ulas di atas, ada hal yang dapat kita petik dari cerpen yang berjudul “Setan Banteng” tersebut, bahwa seseorang anak hendaknya diberikan arahan atau didikan yang baik sejak dini, sehingga ketika hendak menginjak remaja atau bahkan dewasa anak tersebut dapat hati-hati dengan membedakan mana hal yang baik yang dapat mengantarkan dirinya kepada keselamatan dan mana hal yang buruk yang justru akan membawa dirinya kepada kesesatan. Jika arahan baik telah diarahkan tentu diharapkan seorang anak akan mampu bersikap baik dan apa yang hendak ia lakukan akan berguna dan dapat bermanfaat bagi orang lain bukan justru meresahkan orang lain.

Minggu, 30 Mei 2021

 KRITIK / ESAI PUISI “SAJAK PALSU” KARYA AGUS R. SARJONO 

SAJAK PALSU

Agus R. Sarjono

. pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di  akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka  menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.

1998


UNTAIAN KRITIK / ESAI PUISI “SAJAK PALSU” KARYA AGUS R. SARJONO

Puisi di atas merupakan sebuah karya sastra dari seorang penyair yang bernama Agus R. Sarjono yang lahir di Bandung pada tanggal 27 Juli 1962. Berbicara mengenai sajak atau puisi itu merupakan sebuah ungkapan yang berasal dari imajinasi pengarang atau penyair yang ingin memberikan gambaran tentang suatu kejadian, memberikan ungkapan dari segala isi hatinya, atau bahkan memberikan gambaran terhadap sosok dirinya sendiri dan lain sebagainya. Begitu pula dalam puisi yang berjudul “Sajak Palsu” yang ditulis oleh Agus R. Sarjono di atas merupakan sebuah suguhan dari salah satu realita yang terjadi di dalam negara Indonesia. Melalui puisi yang ditulis tersebut penyair hendak memotret kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan, instansi pemerintahan serta dalam dunia kerja yang penuh dengan kepalsuan dan kebohongan.

Di dalam membaca kutipan puisi di atas, Ada hal yang cukup menggilitik jiwa dan raga saya sebagai mahasiswa yang melakukan studi pada jurusan pendidikan ini, mengingat dalam puisi tersebut terdapat sindiran keras yang dilontarkan terhadap seorang guru yang penuh dengan kepalsuan terhadap apa yang ia berikan terhadap muridnya sehingga kelak melahirkan sosok-sosok yang penuh dengan kebohongan yang dapat menghancurkan Negara.

Bentuk sindiran yang dilontarkan dalam puisi tersebut menitikberatkan kepada peran dari seorang guru dan orang tua murid yang sering terjadi di Indonesia. Pada saat di dalam kelas, tentu seorang guru berperan sebagai pengajar dan pendidik yang melakukan tugas sesuai dengan aturan dan peran sebagai seorang pengajar. Namun diluar kelas, mereka seolah-olah tidak memiliki atau tidak ingat peranannya sebagai pengajar. Hal itu dapat dilihat dari penilaian guru yang tidak berbasis kinerja sehingga terkadang karena malas berpikir, dan lemah iman sehingga satu-satunya hal yang dapat dilakukan adalah memalsukan nilai akibat mendapat tuntutan dari orang tua yang memiliki ambisi agar anaknya cepat memperoleh ijazah sebagai tanda kelulusan. Dari sinilah lahirlah pemikiran sesat yang mengakui bahwa ijazah dengan nilai tinggi adalah segalanya dalam hidup yang menganggap bahwa setelah memperoleh ijazah maka persoalan hidup telah selesai. Seringkali yang diagungkan oleh guru hanyalah nilai yang tertera di dalam ijazah tanpa harus melihat bagaimana proses atau cara untuk memperoleh ijazah tersebut.

Namun, sebagai mahasiswa yang bergelut di dunia pendidikan, saya memberikan tanggapan bahwa dengan adanya kritikan dan lontaran pedas yang disampaikan oleh penyair melalui puisi di atas dapat menigkatkan kejelasan niat serta tujuan menjadi seorang guru bahwa menjadi seorang guru merupakan seseorang yang nantinya akan menentukan masa depan orang lain khususnya bagi generasi muda yang nantinya menjadi penentu bagi berjalannya sebuah Negara agar tidak terpuruk sehingga kejujuran harus ditegakkan agar Negara tidak mengalami kehancuran. Selain itu, adanya puisi tersebut dapat menjadi bahan refleksi untuk guru yang ada di Indonesia untuk dapat membuktikan bahwa guru mampu mempertahankan gelarnya sebagai pahlawan tanda jasa serta dapat memajukan pendidikan di Indonesia.

 

 

Minggu, 23 Mei 2021

 Kritik / Esai Puisi Wiji Thukul

Berbicara mengenai puisi Wiji Thukul, saya akan terlebih dahulu menjelaskan siapa Wiji Thukul itu? Wiji Thukul merupakan seorang aktivis yang bergerak pada masa rezim orde baru yang lahir pada tanggal 26 Agustus pada tahun 1963 di kampung Seragen, Solo. Wiji Thukul merupakan seorang yang tidak pernah menuyerah dalam melawan penindasan serta ketidakadilan yang menimpah kaum bawah. Melalui karya-karya yang ia tulis, beliau menyampaikan aspirasi-aspirasi masyarakat yang sebelumnya tidak pernah didengarkan oleh pemerintah sebelumnya. Wiji Thukul merupakan seorang yang pemberani dan tidak takut kepada siapapun dalam membela kaum marjinal yang dilecehkan oleh para penguasa. Bahkan ia berani melawan rezim orde baru yang pada saat itu keadailan sudah tidak lagi ditegakkan dan justru banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun puisi yang akan saya ulas adalah dua puisi karya Wiji Thukul di antaranya, puisi pertama yang berjudul “Peringatan” dan puisi kedua yang berjudul “Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu”.  

Pertama, Puisi yang berjudul “Peringatan” yang ditulis oleh Wiji Thukul merupakan sebuah puisi yang menceritakan tentang lontaran sebuah kritik pedas atau dapat pula diartikan sebagai sebuah kecaman terhadap pemerintahan pada masa itu yaitu pada masa pemerintahan Soeharto. Mengingat pada masa itu rakyat harus tunduk terhadap sang penguasa serta tidak dapat menyampaikan pendapat atau kritik apapun secara bebas karena apabila rakyat menyampaikan aspirasinya yang mengandung kritik maka pemerintah tidak segan-segan akan untuk mengasingkan atau bahkan menghilangkan rakyat yang memberikan kritik tersebut. sikap pemerintah yang ditujukan kepada rakyat pada masa itu tentu justru menjadikan ruang gelap bagi negeri sendiri. Mengingat pada masa itu rakyat tidak bisa lagi mempercayai pemimpin, mulut rakyat dibuat bungkam, kebenaran tidak dapat diperoleh, sehingga tentu dengan adanya kebijakan yang hanya menguntungkan penguasa itu hanya akan membuat negara tidak memiliki tujuan. Untuk itu, adanya puisi yang berjudul “Peringatan” ini, Wiji Thukul yang saat itu beliau adalah seorang aktivis hendak mengajak rakyat untuk memberikan perlawanan terhadap pemerintah yang tidak dapat memberikan keadilan terhadap rakyat bahkan kebijakan-kebijakan yang dilakukan justru mengekang rakyat dan menodai bangsa.

  Kedua, puisi yang berjudul “Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu” merupakan sebuah puisi yang masih sama dengan puisi yang pertama, yaitu sama-sama memberikan respon terhadap sikap para penguasa dalam pemerintahan pada masa orde baru.  puisi yang berjudul “Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu” ini menceritakan tentang seorang penguasa dalam pemerintahan Indonesia pada masa itu yang semestinya memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas namun tidak mau mengamalkan ilmunya demi kebaikan, bahkan justru membuat komplotan guna mementingkan serta menguntungkan dirinya sendiri sehingga hal itu berdampak pada tertindasnya rakyat dan tidak pula mendapatkan keadilan. Namun, dalam puisi ini Wiji Thukul selaku seorang yang menulis puisi tersebut hendak menyampaikan pesan pula kepada para generasi muda bahwa ketika kita memperoleh ilmu setinggi apapun hendaklah kita memanfaatkan serta mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh untuk hal-hal yang baik, dan tidak justru memanfaatkan ilmu untuk tujuan merugikan orang lain mengingat keberadaan ilmu sejatinya dapat dijadikan sebagai penerang atau cahaya yang dapat menerangi kegelapan atau ketidaktahuan.

Minggu, 16 Mei 2021

Kritik / Esai Puisi karya Sutadji Calzoum Bachri

IDUL FITRI

Sutadji Calzoum Bachri

Lihat

Pedang tobat ini menebas-nebas hati

dari masa lampau yang lalai dan sia

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah

tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu

Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

Maka aku girang-girangkan hatiku

Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta

Maka walau tak jumpa denganNya

Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini

Semakin mendekatkan aku padaNya

Dan semakin dekat

semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini

ngebut

di jalan lurus

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir

tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia

Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu

di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus

Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir

tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

Maka pagi ini

Kukenakan zirah la ilaha illAllah

aku pakai sepatu sirathal mustaqim

aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id

Aku bawa masjid dalam diriku

Kuhamparkan di lapangan

Kutegakkan shalat

Dan kurayakan kelahiran kembali

di sana

 

Esai Puisi yang berjudul “Idul Fitri”

Karya Sutadji Calzoum Bachri

 

Puisi yang berjudul “Idul Fitri” di atas merupakan sebuah karya sastra yang ditulis oleh penyair yang cukup terkenal yang juga mendapat julukan sebagai Presiden Penyair Indonesia. Sebagaimana yang tertera dalam judul pada puisi di atas, tentu para penikmat puisi tidak akan merasa kebingungan dengan apa yang hendak disampaikan dalam puisi tersebut, mengingat pemilihan judul yang dipakai oleh penulis sudah cukup memberikan gambaran bahwasanya sesuatu yang hendak dijelaskan dalam puisi tersebut merupakan sebuah perayaan untuk sebuah kemenangan bagi kaum muslim sehingga pembaca tidak akan seberapa sulit memahami setiap kata yang hendak dituangkan dalam puisi tersebut.

Pada puisi tersebut, tepatnya kalimat yang tertera di awal puisi. Maksud yang diutarakan dalam puisi tersebut merupakan penjelasan dari istimewahnya bulan sebelum syawal yaitu bulan ramadhan. Mengingat, pada bulan tersebut pintu taubat dibuka serta segala hal baik termasuk ibadah juga akan dilipatkan gandanya apabila ada seseorang yang hendak melaksanakannya.  Selain itu pada bulan ramadhan tersebut terdapat waktu malam yang ditunggu dan diharapkan oleh seluruh umat islam yaitu malam lailatul qodar. Namun, dalam puisi tersebut dijelasakan bahwa sosok yang diceritakan dalam puisi tersebut merasakan kesulitan mendapatkan malam lailatul qodar padahal ia sering melaksanakan sholat malam. Namun, malam yang lebih baik dari seribu bulan tersebut tak kunjung datang.  Hal tersebut dapat dilihat dari penggalan puisi berikut.

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah

tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu

Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

 

Kemudian, hal lain yang hendak dijelaskan dalam puisi tersebut merupakan gambaran dari seorang Tardji yang setiap hari melaksanakan ibadah secara terus menerus dengan mengharapkan suatu malam yang digambarkan pada penggalan puisi sebelumnya. Hal tersebut tertuang dalam penggalan puisi berikut ini.

Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Penggalan puisi tersebut menunjukkan bahwa sosok yang digambarkan dalam puisi tersebut adalah seseorang yang sangat ahli ibadah hingga ia tidak mau batal dan mempertahankan kesuciannya dengan wudhu. Selain itu, ada hal lain yang hendak digambarkan dalam puisi tersebut . hal tersebut dapat dilihat dari penggalan puisi berikut ini.

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta

Berdasarkan penggalan di atas dapar dijelaskan bahwa kegigihan sosok yang digambarkan puisi tersebut dalam melaksanakan ibadah tidaklah cukup untuk memberinya jaminan hidup bahagia di akhirat atau bertemu dengan malam lailatul qodar mengingat malam tersebut sangat dinantikan oleh seluruh kaum muslim sehingga tidak mudah untuk memperolehnya dan hanya orang-orang beruntung yang bisa mendapatkan atau bertemu dengan malam yang penuh pahala tersebut.

Selain itu puncak dalam puisi tersebut dapat dilihat dari penggalan puisi di akhir yang memberikan gambaran tentang idul fitri yaitu perayaan kemenangan bagi orang muslim. Dimana pagi hari dilaksanakan sholat Id yang kemudian dilanjut dengan berjabat tangan guna memohon maaf terhadap sesama muslim mengingat di bulan sebelumnya pintu ampunan dibuka sehingga diharapkan ketika idul fitri tiba bisa seperti orang yang dilahirkan kembali tanpa dosa. 

Jumat, 07 Mei 2021

KRITIK/ESAI PUISI KARYA MASHURI

 

UNTAIAN KRITIK/ESAI 3 PUISI

 Karya Mashuri

HANTU KOLAM

: plung!

 

di gigir kolam
serupa serdadu lari dari perang
tampangku membayang rumpang

mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan lama

segalangnya dingin, serupa musim yang dicerai
matahari
aku terkubur sendiri di bawah timbunan
rembulan
segalanya tertemali sunyi
mungkin…

“plung!”

aku pernah mendengar suara itu
tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu
yang jatuh
kerna kini kolam tak beriak
aku hanya melihat wajah sendiri, berserak

Banyuwangi, 2012-12-03

 

HANTU MUSIM

aku hanya musim yang dikirim rebah hutan
kenangan – memungut berbuah, dedaunan, juga
unggas – yang pernah mampir di pinggir semi
semarakkan jamuan, yang kelak kita sebut
pertemuan awal, meski kita tahu, tetap mata
itu tak lebih hanya mengenal kembali peta
lama, yang pernah tergurat berjuta masa

bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular
sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan
yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang
pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu
mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh

di situ, aku panas, sekaligus dingin
sebagaimana unggas yang pernah kita lihat
di telaga, tetapi bayangannya selalu
mengirimkan warna sayu, kelabu
dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya
dengan atau tanpa cerita tentang musim
yang terus berganti…

Magelang, 2012

 

 

HANTU DERMAGA

mimpi, puisi dan dongeng
yang terwarta dari pintumu
memanjang di buritan
kisah itu tak sekedar mantram
dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar
ia serupa pendulum
yang dikulum cenayang
dermaga
ia hanya titik imaji
dari hujan yang berhenti
serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal
tertambat di terminal awal

tapi ritusmu bukan jadwal hari ini
dalam kematian, mungkin kelahiran
kedua
segalanya mengambang
bak hujan yang kembali
merki pantai
telah berpindah dan waktu pergi
menjaring darah kembali

Sidoarjo, 2012


Untaian Kritik 3 Puisi Karya Mashuri

Berbicara mengenai puisi, tentu tidaklah asing bagi kaum pelajar dan bahkan remaja pada umumnya. Ingin tau apa sih puisi itu? Tentu kan ya... Puisi merupakan sebuah karya sastra atau dapat dikatakan pula ragam sastra yang di dalamnya terdapat susunan kata-kata atau bahkan kata-kata kiasan yang memuat ungkapan ide, pikiran, serta perasaaan yang gaya bahasanya selaluterikat oleh unsur-unsurnya seperti irama, rima, baris, dan bait. Karena bentuk yang cukup menarik itulah tidak heran jika keberadaan puisi sangat digemari oleh kaum remaja, bahkan seringkali remaja menjadikan puisi sebagai bentuk rayuan terhadap lawan jenis pada umumnya.

Pada kesempatan kali ini, puisi yang akan saya baca dan kemudian akan saya tuangkan dalam bentuk kritik/esai ini adalah tiga judul puisi di atas yang ditulis oleh sastrawan yang berasal dari kota Lamongan bernama Mashuri. Beliau merupakan sosok yang cukup pandai sehingga dapat menjadi inspirator bagi kaum-kaum muda saat ini khususnya pada pelajar atau mahasiswa yang sedang melakukan studi dalam bidang sastra terlebih-lebih terhadap remaja pada umumnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa karya yang beliau tulis, mengingat bukan hanya karya sastra dalam bentuk puisi yang beliau tulis, terdapat beberapa karya lain yang pernah beliau tulis, diantaranya ada novel, cerpen, dan lain-lain. Namun, kali ini yang akan tuangkan dalam bentuk kritik/esai tidaklah semua bentuk karya sastra yang pernah beliau tulis, tetapi hanya karya sastra dalam bentuk puisi yang terdiri dari tiga judul diantaranya yaitu, pertama puisi yang berjudul “Hantu Kolam”, kedua “Hantu Musim”,dan yang ketiga yaitu “Hantu Dermaga”. Ketiga puisi tersebut merupakan karya Mashuri yang masing-masing memiliki kesamaan dalam pemilihan awalan judul yang sama-sama memakai kata “Hantu”. Hal itu pula menjadikan saya penasaran terhadap isi dari ketiga puisi yang ditulis oleh Mashuri tersebut.

Pertama, saya akan menuangkan kritik/esai terhadap puisi pertama yang berjudul “Hantu Kolam”. Sebenarnya apa sih yang dibahas dalam puisi tersebut serta apa makna yang terkandung dalam puisi tersebut? Nah, saya akan menguraikannya sesuai dengan apa yang telah saya baca dari puisi yang berjudul “Hantu Kolam” yang ditulis oleh Mashuri tersebut.   

Puisi pertama yang berjudul “Hantu Kolam” tersebut merupakan sebuah puisi yang terdiri dari 6 bait dan 23 baris. Adapun gambaran dalam puisi tersebut adalah  menggambarkan tentang keberadaan seseorang yang berdiri di pinggir kolam yang sedang berkaca-kaca menatap wajahnya sendiri melalui pantulan air yang ada di dalam kolam. Hal tersebut tampak pada penggalan bait berikut ini.

: plung!

di gigir kolam
serupa serdadu lari dari perang
tampangku membayang rumpang

dari penggalan bait tersebut terlihat jelas bahwa kata “tampangku membayang rumpang” ini dapat menunjukkan bahwa sosok yang digambarkan dalam puisi tersebut merupakan sosok yang sedang berdiri di pinggir kolam dan membungkuk menghadap ke bawah dengan menatap pergerakan air dalam kolam sehingga yang tampak dalam tatapannya tidak lain merupakan bayangannya sendiri yang diperoleh dari pantulan air yang dipandang.

Selain itu, digambarkan pula oleh penulis bahwa dalam puisi tersebut sosok yang digambarkan merupakan sosok yang sedang merenung dan meratapi kejadian di masa lampau atau teriyang-iyang oleh kenangannya yang terus membayang-bayangi dirinya, sebagaimana bayangan wajahnya yang tampak di dalam genangan air yang ada di kolam. Sehingga kenangan yang terus membayang-bayangi itu menjadikan perasaannya menjadi hanyut. Hal tersebut tampak pada penggalan bait terakhir berikut ini.

mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan
lama

Melalui penggalan bait di atas, dapat diartikan bahwa kata “terperangkap” tersebut menunjukkan kehanyutan terhadap perasaannya yang terjebak ingatan pada kejadian yang pernah ia lakukan sehingga hal itu terus  terbayang-bayang dalam dirinya. Selain itu, kesunyiannya pun dapat dilihat dari penggalan bait berikut ini

“plung!”

aku pernah mendengar suara itu
tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu
yang jatuh
kerna kini kolam tak beriak
aku hanya melihat wajah sendiri, berserak

Berdasarkan penggalan puisi di atas, dapat diartikan bahwa terdapat kejadian dalam masa lampau yang membayangi dirinya tersebut telah cukup membuat dirinya menjadi sunyi layaknya bayangan wajahnya yang terlihat dalam kolam.

Setelah saya membaca dan menuangkan hasil bacaan saya tersebut, dapat disimpulkan bahwa puisi tersebut cukup menarik dalam pemilihan kata sehingga mudah untuk dibaca dan tidak banyak menimbulkan kebingungan, namun pemakaian judul di dalam puisi tersebut nampak hanya sebuah gambaran terhadap sosok yang digambarkan dalam keadaan sunyi dan merenung memikirkan sesuatu yang mengusik kehidupannya,. Melalui kesunyian itulah oleh penulis disamakan dengan sosok hantu yang seringkali dijumpai dalam keadaan sepi dan sunyi.

Kedua, puisi yang akan selanjutnya saya tuangkan dalam bentuk esai adalah puisi yang masih dalam penulis sama yaitu Mashuri, yaitu puisi yang berjudul “Hantu Musim”. Puisi yang berjudul “Hantu Musim” tersebut merupakan puisi yang terdiri dari 3 bait dan 19 baris. Adapun gambaran dari puisi tersebut adalah menggambarkan keberadaan cuaca yang seringkali silih berganti. Namun penggambaran dalam puisi tersebut diibaratkan oleh penulis dengan memberikan gambaran dari sawah yang terkadang dingin dengan memunculkan warta kepada ular, dan terkadang pula panas dan bahkan dapat pula kembali menjadi dingin kembali. Hal tersebut tampak pada penggalan bait terakhir berikut ini.

Di situ, aku panas, sekaligus dingin

Sebagaimana unggas yang pernah kita lihat

Di telaga, tetapi bayangannya selalu

Mengirimkan warna sayu, kelabu

Dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya

Dengan atau tanpa cerita tentang musim

Yang terus berganti…

Namun, gambaran pergantian cuaca dalam puisi yang berjudul “Hantu Musim” tersebut hanyalah sebagai bentuk pengungkapan semangat dirinya dalam menginginkan kenangannya dapat kembali dijalankan. Artinya, bahwa pergantian cuaca yang terus berganti secara tiba-tiba datangnya seperti hantu tersebut tidak dapat menjadi halangan untuknya dalam menginginkan kenangannya dapat kembali dijalankan. Melihat hal seperti ini dapat disimpulkan bahwa sosok yang diceritakan dalam puisi tersebut sedang menginginkan cinta yang pernah ia jalani bersama seseorang dapat terulang kembali mengingat banyak hal yang dapat merubah dirinya serta banyak hal yang telah ia lakukan bersama, namun harapan menjalankan kembali bersamanya tidak semudah ia menumbuhkan semangat dalam dirinya padahal dalam pikirannya berdua sama-sama ada keinginan untuk mengulang kembali mengingat cintanya yang tumbuh sudah begitu besar.

 Berdasarkan gambaran di atas, dapat saya simpulkan bahwa puisi kedua yang berjudul “Hantu Musim” ini memiliki keterkaitan dengan puisi yang pertama. Hal itu tampak pada alur yang dijelaskan dalam puisi pertama dan kedua. Pada puisi pertama sosok yang digambarkan sedang merenung memikirkan kenangan namun belum diutarakan kenangan apa yang terbesit dan terbayang-bayang di pikirannya. Namun, pada puisi kedua yang berjudul “Hantu Musim” mulai disebutkan bahwa sosok yang digambarkan dalam puisi tersebut memikirkan tentang kekasih yang pernah menjalani hubungan bersamanya.  

Ketiga, selanjutnya puisi karya Mashuri yang akan saya tuangkan dalam bentuk esai adalah puisi yang berjudul “Hantu Dermaga”.  Puisi tersebut terdiri dari 2 bait dan 20 baris. Adapun gambaran dalam puisi tersebut tampak pada wujud dermaga. Sebagaimana dermaga sendiri yang memili arti tembok rendah yang memanjang dan menjorok ke laut sebagai tempat pangkalan dan bongkar muat barang yang memberikan pengertian terhadap sosok yang dijelaskan dalam puisi tersebut adalah bahwa cinta yang dirasakan begitu dalam dan tidak mampu dipisahkan. Ibarat jauhnya kapal yang telah berjalan melalui dermaga menuju ke suatu tempat yang paling jauh, sama halnya dengan perasaan yang dimiliki tidak akan dapat dipisahkan dengan jarak begitu pula dengan kematian.

Berdasarkan uraian ketiga puisi di atas, dapat dikaitkan dalam kehidupan pada masa sekarang khususnya bagi kaum remaja yang sering kita jumpai sedang mengalami kegalauan akibat mengenang masa lalunya yang begitu indah mengingat banyak hal yang pernah ia lakukan. Bahkan, ada pula yang merasakan kegalauan hingga berdampak pada bunuh diri yang ia lakukan. Hal itu menandakan bahwa cinta yang dirasakan begitu melekat dalam dirinya dan tidak mampu dipisahkan, sehingga ketika ia tidak mampu mengulang cintanya, ia lebih rela untuk mengorbankan hidupnya dengan bunuh diri.

 

 

Sabtu, 24 April 2021

Kritik Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki”

Karya M. Shoim Anwar

 

Cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” ini merupakan salah satu karya sastra dari seorang sastrawan bernama M. Shoim Anwar. Sebelum saya mengulas cerpen karya beliau, saya terlebih dahulu mengulas tentang sosok beliau. M. Shoim Anwar, beliau merupakan seorang sastrawan yang lahir di Desa Sanbung Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan seorang sastrawan yang kiprahnya sangat bagus bahkan beliau beberapa kali menjuarai lomba. Salah satunya adalah menjuarai lomba menulis secara berturut-turut yang diadakan oleh Dewan Kesenian Surabaya (1988, 1989, 1990) dan juga pernah menjuarai lomba menulis cerpen dan esai yang diadakan oleh Depdiknas (2001, 2002, 2003, 2005, 2006, 2007). Beliau juga pernah mendapatkan penghargaan seni dari Gubernur Jawa Timur pada tahun 2008. Oleh karena itu, kiprahnya dalam dunia sastra sudah tidak dapat diragukan lagi. Bahkan beberapa cerpen yang ditulisnya telah dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis. Dan tentu masih banyak hal lain dalam perjalanan karirnya di dunia sastra yang patut diacungi jempol namun tidak dapat saya jelaskan secara keseluruhan. Setelah menengok kiprah dari seorang M. Shoim Anwar yang sangat menginspirasi banyak kalangan terutama para mahasiswa inilah, saya tertarik untuk mengulas salah satu karya beliau berupa cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki.

Sebagaimana yang tertulis dalam judul cerpen tesebut, cerpen ini mengisahkan tentang seseorang perempuan bernama Sulastri yang menjadi tokoh utama dan seorang empat lelaki yang diantaranya adalah Polisi, Markam (Suami Sulastri), Fir’aun serta Musa. Menengok ke dalam awal paragraf dalam cerpen tersebut. Bagi pembaca, terutama dari kalangan muslim tentu tidak asing lagi ketike membaca paragraf pertama dalam cerpen tersebut yang terdapat istilah Laut Merah. Laut merah sendiri merupakan sebuah teluk yang terletak di sebelah barat jazirah Arab yang keberadaan teluk tersebut memisahkan dua benua, yaitu benua Asia dan Afrika. Dan tentu, hanya dengan membaca istilah laut merah saja kita akan dihadapkan pada sikap penasaran yang mendalam karena berbagai faktor misalkan kisah Nabi Musa AS yang menenggalamkan Fir’aun dan para pengikutmya, warna dari teluk tersebut, serta keberadaan air yang cukup asin.

Dengan menengok keberadaan istilah Laut Merah dalam cerpen tersebut, tentu sudah dipastikan bahwa dalam cerpen tersebut kisah yang diceritakan merupakan kisah seseorang yang tinggal di daratan Timur tengah. Namun, siapakah sosok tersebut? Tentu tidak lain dan tidak bukan dialah Sulastri. Dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa Sulastri merupakan seorang perempuan asal Indonesia yang berada di daratan Timur tengah. Apa yang Sulastri lakukan di sana? Tentu tidak lain dan tidak bukan dan sudah dipastikan bahwa keberadannya di sana adalah untuk memperkerjakan dirinya guna menafkahi keluarga. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,” kata perempuan tadi terbata-bata, menujukkan nama dan asalnya.

Melihat kutipan di atas, sudah cukup membuktikan bahwa sosok Sulastri bukanlah seseorang yang asli penduduk sana, melainkan penduduk asal Indonesia. Sehingga saya dapat menyimpulkan bahwa sosok Sulastri merupakan seorang yang jika tidak menjalankan ibadah, mengunjungu tempat-tempat sejarah, maka beliau merupakan seorang tenaga kerja di sana. Namun, melihat alur dalam cerpen tersebut memang ia sedang memperkerjakan dirinya di daratan Timur tengah sana karena kecewa akan perilaku suaminya yang bernama Markan yang justru melakukan hal syirik dengan menduakan Tuhan yang dibuktikan dengan perilakunya dalam bertapa untuk mendapatkan benda-benda pusaka, namun dirinya membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawanya. Kekesalan Sulastri terhadap suaminya dalam cerpen tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan berikut ini.

“Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”

Dalam kutipan di atas, dapat dijelaskan bahwa Sulastri sebagai seorang istri hendak mengingatkan kepada suaminya bahwa yang ia lakukan tidaklah berguna, dan tidak akan dapat memberikan manfaat bagi keluarganya namun hanya dapat menyengsarakannya. Bukti kutipan lain yang menjadi bukti kekesalan seorang Sulastri terhadap Markam suaminya dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

 

“Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

Meskipun Sulastri sudah berkeluh kesah kepada perilaku Markam suaminya, namun sama sekali tidak ada respon dari Markam, dan justru enggan untuk mendengarkannya. Hal-hal seperti ini sering kita jumpai dalam kejadian nyata di kehidupan sehari-hari, sebagaimana di daerah-daerah tertentu yang ada di Indonesia masih banyak orang-orang yang percaya terhadap hal-hal mistik tersebut dengan bertapa beberapa malam untuk mendapatkan barang-barang atau benda-benda yang diinginkan yang terkadang digunakan untuk membentengi dirinya dalam menghadapi serangan musuh. Namun, perlu dicatat bahwa jika hanya melakukan pertapaan tanpa memikirkan keberadaan keluarga dan anak-anak, hal itu tentu akan berdampak pada kesengsaraan anak dan suami. Mengingat, dalam cerpen tersebut keberadaan Markam suaminya hanya mementingkan keinginannya sendiri dalam memuaskan hasrat untuk mendapatkan benda-benda keramat yang diinginkan tanpa emmikirkan keluarganya. Kejadian seperti ini juga dapat menjadi pelajaran bagi para remaja dan remaji saat ini, bahwa jangan tergesah-gesah untuk menikah mengingat kesiapan mental dalam mengarungi rumah tangga harus benar-benar siap sehingga antara kedua belah pihak dapat saling mengayomi, dan bukan justru memberatkan salah satu karena lebih mementingkan hasrat atau keinginan untuk bersenang-senang.  

Dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” tersebut juga terdapat kemiripan dengan kisah dalam peristiwa lampau yang terjadi dalam sejarah islam yaitu kisah Nabi Musa dengan seorang Raja bernama Fir’aun yang memiliki keangkuhan, serta menganggap dirinya Tuhan sehingga semua orang harus tunduk dan mudah ia perbudak. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini.

“Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.”

“Firauuun…!”  serta dalam kutipan berikut ini..

“Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.

“Aku bukan budak.…”

“Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”

Dari kutipan di atas dapat kita lihat bahwa keberadaan Fir’aun dalam cerpen tersebut menunjukkan sikap yang seenaknya sendiri dengan menganggap semua orang itu budak. Adapun kemiripan dengan peristiwa dalam sejarah dalam islam dengan kisah Fir’aun dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” tersebut pada pengejaran yang dilakukan oleh Fir’aun terhadap Sulastri yang mengingatkan pada peristiwa dalam sejarah islam ketika Raja Fir’aun mengejar Nabi Musa dengan keretanya bersama-sama dengan pengikutnya. Namun, jika dalam peristiwa lampau dalam sejarah islam tersebut yang menjadi sasaran pengejaran adalah Nabi Musa AS, sedangkan dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki”  Sulastri. Pengejaran yang dilakukan terhadap Sulastri dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”

Fir’aun terus mengejar Sulastri yang terus berlari menghindari kejaran Fir’aun. Namun, ketika jarak sudah semakin mendekat, Sulastri bertemu dengan sosok lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, dan berjenggot panjang. Lelaki tersebut mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajah tampak teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Sehingga hal itu membuat Sulastri gemeteran untuk memanggilnya, dialah Musa. Ketika berbicara mengenai sosok yang ditemui Sulastri ketika hendak menghindari kejaran Fir’aun dalam cerpen tersebut juga mengingatkan kita kepada sosok Nabi Musa AS yang diberikan mukjizat oleh Allah SWT berupa tongkat yang dimiliki. Di dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki”sosok Musa juga digambarkan dengan membawa tongkat sehingga memiliki kiripan dengan peristiwa dalam sejarah muslim.

 Ketika bertemu dengan Musa, Sulastri hendak memberikan pertolongan terhadap dirinya. di awal Sulatri memohon pertolongan, Musa enggan memberikan pertolongan karena ia menganggap bahwa ia masuk dalam daratan dengan haram. Namun, perlahan Sulastri hendak menjelaskan bahwa ia dilantarkan oleh suaminya. Lagi-lagi Musa memberikan jawaban yang secara halus memberikan perlawanan terhadap permintaan Sulastri yang dilontarkan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

“Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”

“Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”

“Saya seorang perempuan, Ya Musa.”

“Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”

Kemudian dalam cerpen tersebut juga dijelaskan mengenai ucapan Musa yang memberikan gambaran kepada Sulastri bahwa sebenarnya negerinya merupaka negara yang memiliki kekayaan yang sangat melimpah, namun dalam negeri tersebut seringkali bahkan sudah menjadi tradisi bahwa seorang pemimpin dipastikan serakah ketia menduduki jabatan yang tinggi dengan memakan uang rakyat dan memuaskannya sendiri. Bahkan beberapa kali keberadaan rakyat sering diperalat untuk memperoleh dukungan ketika hendak ada pemilihan umum dengan menjanjikan kepada rakyat akan hal-hal yang dapat menghipnotis daya tarik rakya, namun ketika sudah menjadi penguasa ia lebih mementingkan dirinya dan golongannya. Hal tersebut juga sering terjadi dalam dunia nyata. Keserakahan tersebut dapat dilihat dalam kutipan cerpen berikut ini.

“Para pemimpin negerimu serakah.”

“Kami tak kebagian, Ya Musa”

“Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”

“Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”

“Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”

“Tolonglah saya, Ya Musa.”

“Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

Setelah mendengarkan jawaban Musa yang dimintai pertolongan oleh Sulastri, tidak lama kemudian angin datang bergemuruh sehingga membuat penglihatan Sulastri menghablur terhadap Musa. Hal itu kemudian mendorongnya untuk berlai kembali agar terhindar dari  kejaran Fir’aun yang terus mengejarnya. Ketika Sulastri sudah kehabisan nafas dan oleng, lelaki yang tadinya dipanggil Musa yang sebelumnya memberikan penolakan atas permintaan tolong yang dilontarkan oleh Sulastri kemudian muncul kembali di hadapannya. Namun, kali ini ia datang sebagai siluet yang samar. Kemudian Sulastri memeluknya erat-erat sebagai salah satu jalan terakhir untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran Fir’aun. Pada saat itu pula Sulastri merasakan ada benda yang digenggamnya. Ternyata makin kuat dan nyata yang ia pegang adalah tongkat, kemudian Sulastri memegangnya dengan kedua tangannya. Ketika Sulastri memegang kuat tongkat tersebut, Sulastri merasakan keringanan pada tubuhnya dan merasa ada yang memompa dirinya, hingga jarak Fir’aun semakin mendekat kepada Sulastri dan hendak menerkamnya kemudian Sulastri memukulkan tongkat tersebut kepada Fir’aun. Seperti sebuah timbakar yang pecah, tubuh Fir’aun menjadi berkeping-keping di pasir. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun.

Setelah membaca gambaran cerita di atas, lagi-lagi muncul sebuah kemiripan dengan peristiwa yang terjadi dalam Nabi Musa AS yang memili tongkat yang dapat berubah menjadi ular dan menelan semua ular palsu dari tukang sihir serta mampu membela laut dengan hanya memukulkan ke dalam laut. Kemiripan dalam peristiwa tersebut dengan keistimewaan yang ada dalam cerpen tersebut adalah sama-sama terdapat sebuah tongkat yang sakti yang dapat menyelamatkan dari kejaran Fir’aun.

Berdasarkan gambaran di atas, cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” dapat memberikan penjelasan dari berbagai segi, diantaranya politik, sosial, ekonomi, dan religi. Dalam segi politik dapat kita lihat dalam cerpen tersebut yang mengisahkan keberadaan seorang penguasa yang lebih mementingkan kekuasaannya sendiri karena merasa pangkat dan derajatnya lebih tinggi sehingga ia seenaknya menindas rakyat kecil, bahkan seringkali jatah uang rakyat justru dimakan untuk memuaskan dirinya sendiri. Jika dilihat dari segi sosial dan ekonomi, dapat dilihat dari gambaran dalam cerpen tersebut yang mengisahkan sosok Sulastri yang mengalami permasalahan sosial dalam hidupnya mengingat keberadaan suami yang tidak mmapu ia rubah untuk berhenti bertapa dan menginginkan untuk mau mengurusi keluarga, namun ia tidak mampu melakukannya, sehingga ia merasa keluarganya tidak bisa sejahtera. Permasalahan sosial yang terjadi dalam keluarga Sulastri juga berdampak pada ekonomi yang menerpanya. Ia harus jatuh bangun untuk memenuhi kehidupannya bahkan ia sampai pergi ke negeri lain guna menafkahi anak-anaknya. Sungguh sangat perihatin kepada sosok Sulastri yang merasakan penderitaan akibat perilaku suaminya. Dan yang terakhir jika dilihat dari segi religi, dalam cerpen tersebut khususnya pada sosok suami Sulastri yang masih percaya terhadap hal-hal mistis dengan dibuktikan dengan pertapaan yang dilakukan Markam dalam mengharapkan kedatangan benda-benda pusaka. Hal itu juga masih sering terjadi dalam dunia nyata mengingat masih banyak orang yang menyembah pohon-pohon besar untuk dilakukan pertapaan bahkan ada yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan jodoh.

Cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” sangatlah menarik, hal itu terlihat dalam kisah atau gambaran dalam cerpen tersebut yang memiliki kemiripan dengan kisah pada Nabi Musa AS dan Raja Fir’aun sehingga dapat memberikan daya tarik bagi pembaca untuk melihat segi kemiripan dan perbedaan antara kisah dalam Cerpen tersebut dengan kisah yang terjadi pada zaman Nabi Musa AS. Kemudian dengan membaca cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” secara keseluruh terdapat amanat bahwa ketika jadi pemimpin, bersikaplah adil dan bijaksana dan jangan mementingkan kepuasan diri sendiri. Dan janganlah merasa senang apabila bahagia di atas penderitaan orang lain.

Sabtu, 17 April 2021

UNTAIAN KRITIK SASTRA

Kritik Cerpen "DI JALAN AL-KAABAH"

Karya M Shoim Anwar


Berbicara mengenai cerpen yang berjudul "Di Jalan Al-Kaabah" karya M. Shoim Anwar merupakan sebuah cerpen yang menceritakan atau mengisahkan tentang sosok pemimpin dalam suatu desa yang bernama Tuan Amali yang sedang menjalankan Ibadah Haji di kota Maekkah bersama dengan istrinya. Ketika Tuan Amali bersama istrinya berada di tanah suci, mereka bertemu dengan seorang pengemis yang terdiri dari anak-anak, karena ibah terhadap pengemis tersebut, akhirnya Tuan Amali memberikan sedekah kepada pengemis tersebut. karena Tuan Amali mengira bahwa anak-anak yang mengemis tersebut kemungkinan adalah korban peperangan atau seorang anak yang terkena ledakan Bom sehingga Tuan Amali merasa kasihan. Sebelumnya Tuan Amali bersama istrinya merasa ikhlas memberikan sedekah tersebut mengingat tujuan awal dari mereka adalah menjalankan perintah Allah sehingga ketika memberikan sedekah pun mereka berikan secara ikhlas-seikhlasnya. Kemudian Nyonya Tilah, istri Tuan Amali mengingatkan kepada Tuan Amali untuk tidak lupa mendoakan Pak Mardho seorang perangkat desa bahwan Tuan Amali yang ingin didoakan di lantai paling atas agar diberikan kesumbuhan atas segala penyakitnya, dan supaya anaknya si Ayu diberikan kelulusan kuliah, pekerjaan dan jodoh yang mapan, serta supaya Pak Mardho tidak lama-lama menduda. Ketika itu juga Tuan Amali pun mendoakannya. 

Namun, di hari yang lain tanpa disangka, ketika berjalan di Jalan Al-Kaabah yang sangat ramai mengingat jalan itu merupakan akses menuju masjid, Tuan Amali melihat seorang yang hendak memotret pengemis-pengemis anak tersebut namun dihalangi oleh wanita yang memakai cadar. mendengar pendengaran orang-orang ternyata anak-anak yang mengemis tersebut merupakan suruhan dari seorang wanita yang memakai cadar untuk berpura-pura menjadi orang yang pantas dikasihani dengan memakai pakaian yang lusuh dan gelap sehingga dengan mudah mendapatkan pemberian dari orang yang melihatnya. Melihat kebohongan seperti itu, Tuan Amali merasa bahwa pengemis ini sudah membohongi banyak orang dan tidak boleh dibiarkan saja, sehingga ia hendak bertindak yang lebih jauh dengan memaksa anak tersebut membuka tangannya, namun ia dihalang-halangi oleh seorang lelaki berkopyah cokelat hingga keduanya beradu mulut. 

Jika dikaitkan dengan kehidupan pada saat ini sangatlah cocok, mengingat di suatu desa pernah saya menjumpai seorang pengemis yang tadinya berpakaian rapi kemudian ketika hendak memasuki sebuah desa dan ditemukannya terdapat tempat yang sepi, maka ia akan mengganti pakaiannya tersebut dengan memakai pakaian yang lusuh dan terkadang berlubang untuk memanipulasi dirinya sendiri agar terlihat sebagai seorang yang pantas dikasihani. 

Kelebihan dari cerpen tersebut terletak pada pemilihan kata yang baik dan menarik sehingga dapat membuat pembaca menjadi nyaman ketika membacanya serta pemilihan judul yang cukup menarik sehinggga dapat menghipnotis pembaca untuk memunculkan niat dan keinginannya untuk membaca cerita pendek tersebut secara keseluruhan. 

KRITIK/ESAI SASTRA DARI KUMPULAN CERPEN KARYA M. SHOIM ANWAR (“Sorot Mata Syaila”, “Sepatu Jinjit Aryanti” , “Bambi dan Perempuan Bersel...