Rabu, 16 Juni 2021

KRITIK / ESAI PUISI “MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA” KARYA TAUFIQ ISMAIL

Sebagaimana yang saya lakukan pada pekan-pekan sebelumnya, kali ini pula saya akan menuangkan kritikan atau ulasan dalam bentuk esai terhadap suatu karya sastra dalam bentuk puisi yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” karya seorang sastrawan bernama Taufiq Ismail yang lahir di Bukit Tinggi, pada tanggal 25 Juni 1935.

Berdasarkan judul puisi tersebut yang kemudian dilanjut dengan melihat, membaca serta  memahami isi yang terdapat dalam puisi yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” tersebut, dapat dijelaskan bahwa puisi tersebut menjelaskan tentang bentuk kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat terhadap keadaan suatu Negara, mengingat suistem pemerintahan yang dilaksanakan justru meresahkan rakyat. Padahal, sebagaimana dalam bait-bait awal pada puisi tersebut dituangkan perasaan bangga yang dirasakan oleh seorang anak muda karena negaranya diakui dunia akibat kegigihan para pahlawan guna memerdekakan sebuah Negara, yaitu Negara Indonesia.

Namun, kebanggaan itu luntur seketika dan berubah menjadi sebuah kekecewaan yang begitu besar, mengingat kesadaran akan pentingnya HAM tidak lagi diperhitungkan sehingga hukum tidak dapat ditegakkan dengan benar. Bahkan, yang terjadi banyak korupsi dimana-dimana, serta seringkali bantuan sosial yang semestinya ditujukan untuk masyarakat yang tidak mampu justru dimanfaatkan sendiri olrh prjabat-pejabat pemerintah, seakan-akan bahwa menjadi pejabat adalah kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tanpa harus memperhitungan kepentingan orang lain.

Hal itu pula yang menjadi dasar akan rusaknya sebuah Negara, akibatnya rakyat-rakyat menengah bawahlah yang merasakan penderitaannya. Hal itu tentu tidak lepas dari perlakuan oknum-oknum yang tidak memiliki rasa tanggungjawab karena lebih mementingkan dirinya sendiri sehingga masyarakat merasa lemah akibat penindasan tersebut dan tidak merasakan kemerdekaan sama sekali dan menganggap bahwa kemerdekaan hanyalah lambang atau simbol belaka. Akhirnya, keadaan seperti ini tentu memunculkan sebuah pemikiran dari kebanyakan rakyat kecil bahwa dirinya tidak bangga, tetapi justru malu menjadi orang Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KRITIK/ESAI SASTRA DARI KUMPULAN CERPEN KARYA M. SHOIM ANWAR (“Sorot Mata Syaila”, “Sepatu Jinjit Aryanti” , “Bambi dan Perempuan Bersel...