Minggu, 27 Juni 2021

KRITIK / ESAI VIDEO KLIP “MAMA PAPA LARANG” CIPTAAN JUDIKA OLEH MAHASISWA UNIVERSITAS ADI BUANA SURABAYA

Pada kesempatan ini, saya akan memberikan ulasan terhadap suatu karya sebagaimana di pekan-pekan sebelumnya. Namun, jika di pekan-pekan sebelumnya karya yang saya ulas berbentuk puisi dan cerpen, berbeda dengan kali ini yang akan mengulas tentang suatu karya dalam bentuk video klip lagu yang berjudul “Mama Papa Larang” ciptaan Judika yang dibuat oleh mahasiswa Universitas PGRI Adi Buana Surabaya diantaranya yaitu Alfian, Lintang, dan Masnah.

Sebagaimana judul yang tertulis, lagu tersebut menceritakan tentang sulitnya mendapatkan restu dari orang tua baik dari papa maupun mama. Namun, diceritakan dalam lagu tersebut bahwa seorang lelaki yang tidak mendapatkan restu dari orang tua kekasihnya dalam mengarungi kisah cinta dengan kekasihnya selalu berusaha sungguh-sungguh dan keduanya saling memberikan dukungan dan semangat tanpa mengenal lelah untuk mendapatkan restu dari orang tua kekasihnya. Jika dilihat dari pemeran video kip tersebut tampak masing-masing dapat dikatakan sudah cukup baik dalam mengekspresikan setiap lirik lagu yang terucap dalam lagu tersebut serta sudah cukup menghayati.

Dalam video klip tersebut tentu ada pesan yang dapat kita ambil yaitu jika kita menginginkan ekspektasi kita tercapai, maka hal itu tidak hanya bisa dilakukan dengan diam dan menunggu, namun perlu sebuah perjuangan dan kegigihan untuk mencapainya, entah cobaan, rintangan, atau halangan apapun yang akan menghadang, kita harus yakin bahwa semua itu dapat kita lalui sehingga apa yang kita ekspektasikan dapat kita wujudkan. Hal itu tidak hanya berlaku dalam urusan  cinta saja, melainkan berbagai hal yang kita impikan.

Rabu, 16 Juni 2021

KRITIK / ESAI PUISI “MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA” KARYA TAUFIQ ISMAIL

Sebagaimana yang saya lakukan pada pekan-pekan sebelumnya, kali ini pula saya akan menuangkan kritikan atau ulasan dalam bentuk esai terhadap suatu karya sastra dalam bentuk puisi yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” karya seorang sastrawan bernama Taufiq Ismail yang lahir di Bukit Tinggi, pada tanggal 25 Juni 1935.

Berdasarkan judul puisi tersebut yang kemudian dilanjut dengan melihat, membaca serta  memahami isi yang terdapat dalam puisi yang berjudul “Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia” tersebut, dapat dijelaskan bahwa puisi tersebut menjelaskan tentang bentuk kekecewaan yang dirasakan oleh rakyat terhadap keadaan suatu Negara, mengingat suistem pemerintahan yang dilaksanakan justru meresahkan rakyat. Padahal, sebagaimana dalam bait-bait awal pada puisi tersebut dituangkan perasaan bangga yang dirasakan oleh seorang anak muda karena negaranya diakui dunia akibat kegigihan para pahlawan guna memerdekakan sebuah Negara, yaitu Negara Indonesia.

Namun, kebanggaan itu luntur seketika dan berubah menjadi sebuah kekecewaan yang begitu besar, mengingat kesadaran akan pentingnya HAM tidak lagi diperhitungkan sehingga hukum tidak dapat ditegakkan dengan benar. Bahkan, yang terjadi banyak korupsi dimana-dimana, serta seringkali bantuan sosial yang semestinya ditujukan untuk masyarakat yang tidak mampu justru dimanfaatkan sendiri olrh prjabat-pejabat pemerintah, seakan-akan bahwa menjadi pejabat adalah kesempatan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tanpa harus memperhitungan kepentingan orang lain.

Hal itu pula yang menjadi dasar akan rusaknya sebuah Negara, akibatnya rakyat-rakyat menengah bawahlah yang merasakan penderitaannya. Hal itu tentu tidak lepas dari perlakuan oknum-oknum yang tidak memiliki rasa tanggungjawab karena lebih mementingkan dirinya sendiri sehingga masyarakat merasa lemah akibat penindasan tersebut dan tidak merasakan kemerdekaan sama sekali dan menganggap bahwa kemerdekaan hanyalah lambang atau simbol belaka. Akhirnya, keadaan seperti ini tentu memunculkan sebuah pemikiran dari kebanyakan rakyat kecil bahwa dirinya tidak bangga, tetapi justru malu menjadi orang Indonesia.

Minggu, 06 Juni 2021

 KRITIK / ESAI CERPEN "SETAN BANTENG" KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA 

Berikut ini, sebagaimana yang pernah saya lakukan di minggu-minggu yang lalu. Saya disini akan mengulas mengenai sebuah cerpen yang cukup menarik, bahkan ketika baru membaca judulnya pun akan memancing daya tarik seseorang untuk mengetahui isi yang ada dalam sebuah cerpen tersebut. “Setan banteng”, iya, itulah judulnya. Hanya dengan membaca judul yang cukup unik itulah membuat si pembaca seakan-akan bertanya bahwa apa yang dibahas dalam cerpen tersebut, serta adakah amanat yang dapat dipetik dari cerpen tersebut? Berikut inilah akan saya ulas dalam bentuk esai.

Cerpen yang berjudul “Setan Banteng” merupakan sebuah cerita pendek yang ditulis oleh sastrawan bernama Seno Gumira Ajidarma yang menceritakan tentang kehidupan seorang anak remaja bersama teman-temannya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Di dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa seseorang lahir dalam dunia ini memiliki karakter atau bahkan cara pandang yang berbeda-beda. Kenapa demikian? Terlepas dari pengaruh didikan orang tua atau bahkan sesuatu hal lain yang dapat mempengaruhi di masa kecilnya yang jelas itu semua terjadi atas kehendak yang maha kuasa. Perbedaan-perbedaan tersebut dijelaskan dalam cerpen tersebut bahwa terdapat segerombalan anak-anak yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Ada yang pemberani walaupun tanpa memikirkan dampak yang akan dialai, ada yang penakut tapi dengan berpikir apa yang akan ia alami jika ia memberanikan diri. Namun, di dalam dunia nyata tidak sedikit orang justru menghardik orang yang jika hanya dilihat kasat mata memiliki ketakutan, bahkan tidak sedikit orang seperti itu justru dijatuhkan. Padahal, dibalik ketakutannya tersebut terdapat pembelaan terhadap keselamatan dirinya.

Lain halnya dengan si pemberani yang tidak memikirkan segala dampak yang ditimbulkan dari keberaniannya tersebut, digambarkan dalam cerpen tersebut bahwa beberapa segerombalan anak sedang memainkan sesuatu yang berhubungan dengan hal mistis yang di dalam cerpen tersebut ada hubungannya dengan gambar yang diperlihatkan di depan tatapan segerombalan anak yang sedang melakukan permainan tersebut yaitu gambaran dari banteng yang tanpa disadari akan berdampak suatu malapetaka bagi mereka.  

Dalam permainan yang dilakukan oleh beberapa anak tersebut, salah satu anak yang memiliki tubuh paling besar jiwanya dirasuki oleh setan yang memiliki sikap dan karakter sebagaimana yang ada dalam gambaran tersebut yaitu hewan banteng. Anak yang kerasukan jiwanya itupun mengamuk dan menyerunduk sebagaimana hewan banteng. Pada saat inilah anak-anak yang lain justru lari dan menertawakannya, padahal itu semua merupakan sebuah malapetaka yang terjadi akibat permainan sembarang yang dilakukan.

Tentu, dalam dunia nyata saya pernah menjumpai bahwa ketika seseorang yang pada saat itu sedang memakai pakaian serba hijau sobek-sobek dengan memakai rambut palsu panjang dengan warna loreng dan ditambah dengan pemakaian gigi palsu yang berbentuk seperti drakula, seseorang tersebut mengatasnamakan dirinya dengan sebutan grandong dan berlagak tidak karu-karuan, niat awalnya memang pemakaian atribut-atribut hanya dianggap sebagai permainan untuk memperlihatkan kepada orang lain atau bahkan dipakai untuk menakut-nakuti orang. Namun, tidak disangka selang beberapa waktu kemudian jiwanya justru kerusakan kuku yang sebelumnya pendek tiba-tiba memanjang, ia tak sadarkan diri dan tak terkendali jiwanya dipenuhi dengan perasaan marah dan matanya pun melotot sehingga kejadian itu sangat meresahkan warga.

Berdasarkan apa yang saya ulas di atas, ada hal yang dapat kita petik dari cerpen yang berjudul “Setan Banteng” tersebut, bahwa seseorang anak hendaknya diberikan arahan atau didikan yang baik sejak dini, sehingga ketika hendak menginjak remaja atau bahkan dewasa anak tersebut dapat hati-hati dengan membedakan mana hal yang baik yang dapat mengantarkan dirinya kepada keselamatan dan mana hal yang buruk yang justru akan membawa dirinya kepada kesesatan. Jika arahan baik telah diarahkan tentu diharapkan seorang anak akan mampu bersikap baik dan apa yang hendak ia lakukan akan berguna dan dapat bermanfaat bagi orang lain bukan justru meresahkan orang lain.

KRITIK/ESAI SASTRA DARI KUMPULAN CERPEN KARYA M. SHOIM ANWAR (“Sorot Mata Syaila”, “Sepatu Jinjit Aryanti” , “Bambi dan Perempuan Bersel...