Minggu, 30 Mei 2021

 KRITIK / ESAI PUISI “SAJAK PALSU” KARYA AGUS R. SARJONO 

SAJAK PALSU

Agus R. Sarjono

. pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di  akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka  menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.

1998


UNTAIAN KRITIK / ESAI PUISI “SAJAK PALSU” KARYA AGUS R. SARJONO

Puisi di atas merupakan sebuah karya sastra dari seorang penyair yang bernama Agus R. Sarjono yang lahir di Bandung pada tanggal 27 Juli 1962. Berbicara mengenai sajak atau puisi itu merupakan sebuah ungkapan yang berasal dari imajinasi pengarang atau penyair yang ingin memberikan gambaran tentang suatu kejadian, memberikan ungkapan dari segala isi hatinya, atau bahkan memberikan gambaran terhadap sosok dirinya sendiri dan lain sebagainya. Begitu pula dalam puisi yang berjudul “Sajak Palsu” yang ditulis oleh Agus R. Sarjono di atas merupakan sebuah suguhan dari salah satu realita yang terjadi di dalam negara Indonesia. Melalui puisi yang ditulis tersebut penyair hendak memotret kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan, instansi pemerintahan serta dalam dunia kerja yang penuh dengan kepalsuan dan kebohongan.

Di dalam membaca kutipan puisi di atas, Ada hal yang cukup menggilitik jiwa dan raga saya sebagai mahasiswa yang melakukan studi pada jurusan pendidikan ini, mengingat dalam puisi tersebut terdapat sindiran keras yang dilontarkan terhadap seorang guru yang penuh dengan kepalsuan terhadap apa yang ia berikan terhadap muridnya sehingga kelak melahirkan sosok-sosok yang penuh dengan kebohongan yang dapat menghancurkan Negara.

Bentuk sindiran yang dilontarkan dalam puisi tersebut menitikberatkan kepada peran dari seorang guru dan orang tua murid yang sering terjadi di Indonesia. Pada saat di dalam kelas, tentu seorang guru berperan sebagai pengajar dan pendidik yang melakukan tugas sesuai dengan aturan dan peran sebagai seorang pengajar. Namun diluar kelas, mereka seolah-olah tidak memiliki atau tidak ingat peranannya sebagai pengajar. Hal itu dapat dilihat dari penilaian guru yang tidak berbasis kinerja sehingga terkadang karena malas berpikir, dan lemah iman sehingga satu-satunya hal yang dapat dilakukan adalah memalsukan nilai akibat mendapat tuntutan dari orang tua yang memiliki ambisi agar anaknya cepat memperoleh ijazah sebagai tanda kelulusan. Dari sinilah lahirlah pemikiran sesat yang mengakui bahwa ijazah dengan nilai tinggi adalah segalanya dalam hidup yang menganggap bahwa setelah memperoleh ijazah maka persoalan hidup telah selesai. Seringkali yang diagungkan oleh guru hanyalah nilai yang tertera di dalam ijazah tanpa harus melihat bagaimana proses atau cara untuk memperoleh ijazah tersebut.

Namun, sebagai mahasiswa yang bergelut di dunia pendidikan, saya memberikan tanggapan bahwa dengan adanya kritikan dan lontaran pedas yang disampaikan oleh penyair melalui puisi di atas dapat menigkatkan kejelasan niat serta tujuan menjadi seorang guru bahwa menjadi seorang guru merupakan seseorang yang nantinya akan menentukan masa depan orang lain khususnya bagi generasi muda yang nantinya menjadi penentu bagi berjalannya sebuah Negara agar tidak terpuruk sehingga kejujuran harus ditegakkan agar Negara tidak mengalami kehancuran. Selain itu, adanya puisi tersebut dapat menjadi bahan refleksi untuk guru yang ada di Indonesia untuk dapat membuktikan bahwa guru mampu mempertahankan gelarnya sebagai pahlawan tanda jasa serta dapat memajukan pendidikan di Indonesia.

 

 

Minggu, 23 Mei 2021

 Kritik / Esai Puisi Wiji Thukul

Berbicara mengenai puisi Wiji Thukul, saya akan terlebih dahulu menjelaskan siapa Wiji Thukul itu? Wiji Thukul merupakan seorang aktivis yang bergerak pada masa rezim orde baru yang lahir pada tanggal 26 Agustus pada tahun 1963 di kampung Seragen, Solo. Wiji Thukul merupakan seorang yang tidak pernah menuyerah dalam melawan penindasan serta ketidakadilan yang menimpah kaum bawah. Melalui karya-karya yang ia tulis, beliau menyampaikan aspirasi-aspirasi masyarakat yang sebelumnya tidak pernah didengarkan oleh pemerintah sebelumnya. Wiji Thukul merupakan seorang yang pemberani dan tidak takut kepada siapapun dalam membela kaum marjinal yang dilecehkan oleh para penguasa. Bahkan ia berani melawan rezim orde baru yang pada saat itu keadailan sudah tidak lagi ditegakkan dan justru banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah. Adapun puisi yang akan saya ulas adalah dua puisi karya Wiji Thukul di antaranya, puisi pertama yang berjudul “Peringatan” dan puisi kedua yang berjudul “Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu”.  

Pertama, Puisi yang berjudul “Peringatan” yang ditulis oleh Wiji Thukul merupakan sebuah puisi yang menceritakan tentang lontaran sebuah kritik pedas atau dapat pula diartikan sebagai sebuah kecaman terhadap pemerintahan pada masa itu yaitu pada masa pemerintahan Soeharto. Mengingat pada masa itu rakyat harus tunduk terhadap sang penguasa serta tidak dapat menyampaikan pendapat atau kritik apapun secara bebas karena apabila rakyat menyampaikan aspirasinya yang mengandung kritik maka pemerintah tidak segan-segan akan untuk mengasingkan atau bahkan menghilangkan rakyat yang memberikan kritik tersebut. sikap pemerintah yang ditujukan kepada rakyat pada masa itu tentu justru menjadikan ruang gelap bagi negeri sendiri. Mengingat pada masa itu rakyat tidak bisa lagi mempercayai pemimpin, mulut rakyat dibuat bungkam, kebenaran tidak dapat diperoleh, sehingga tentu dengan adanya kebijakan yang hanya menguntungkan penguasa itu hanya akan membuat negara tidak memiliki tujuan. Untuk itu, adanya puisi yang berjudul “Peringatan” ini, Wiji Thukul yang saat itu beliau adalah seorang aktivis hendak mengajak rakyat untuk memberikan perlawanan terhadap pemerintah yang tidak dapat memberikan keadilan terhadap rakyat bahkan kebijakan-kebijakan yang dilakukan justru mengekang rakyat dan menodai bangsa.

  Kedua, puisi yang berjudul “Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu” merupakan sebuah puisi yang masih sama dengan puisi yang pertama, yaitu sama-sama memberikan respon terhadap sikap para penguasa dalam pemerintahan pada masa orde baru.  puisi yang berjudul “Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu” ini menceritakan tentang seorang penguasa dalam pemerintahan Indonesia pada masa itu yang semestinya memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas namun tidak mau mengamalkan ilmunya demi kebaikan, bahkan justru membuat komplotan guna mementingkan serta menguntungkan dirinya sendiri sehingga hal itu berdampak pada tertindasnya rakyat dan tidak pula mendapatkan keadilan. Namun, dalam puisi ini Wiji Thukul selaku seorang yang menulis puisi tersebut hendak menyampaikan pesan pula kepada para generasi muda bahwa ketika kita memperoleh ilmu setinggi apapun hendaklah kita memanfaatkan serta mengamalkan ilmu yang telah kita peroleh untuk hal-hal yang baik, dan tidak justru memanfaatkan ilmu untuk tujuan merugikan orang lain mengingat keberadaan ilmu sejatinya dapat dijadikan sebagai penerang atau cahaya yang dapat menerangi kegelapan atau ketidaktahuan.

Minggu, 16 Mei 2021

Kritik / Esai Puisi karya Sutadji Calzoum Bachri

IDUL FITRI

Sutadji Calzoum Bachri

Lihat

Pedang tobat ini menebas-nebas hati

dari masa lampau yang lalai dan sia

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah

tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu

Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

Maka aku girang-girangkan hatiku

Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta

Maka walau tak jumpa denganNya

Shalat dan zikir yang telah membasuh jiwaku ini

Semakin mendekatkan aku padaNya

Dan semakin dekat

semakin terasa kesia-siaan pada usia lama yang lalai berlupa

O lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini

ngebut

di jalan lurus

Jangan Kau depakkan lagi aku ke trotoir

tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia

Kini biarkan aku meneggak marak CahayaMu

di ujung sisa usia

O usia lalai yang berkepanjangan

Yang menyebabkan aku kini ngebut di jalan lurus

Tuhan jangan Kau depakkan aku lagi ke trotoir

tempat aku dulu menenggak arak di warung dunia

Maka pagi ini

Kukenakan zirah la ilaha illAllah

aku pakai sepatu sirathal mustaqim

aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat Id

Aku bawa masjid dalam diriku

Kuhamparkan di lapangan

Kutegakkan shalat

Dan kurayakan kelahiran kembali

di sana

 

Esai Puisi yang berjudul “Idul Fitri”

Karya Sutadji Calzoum Bachri

 

Puisi yang berjudul “Idul Fitri” di atas merupakan sebuah karya sastra yang ditulis oleh penyair yang cukup terkenal yang juga mendapat julukan sebagai Presiden Penyair Indonesia. Sebagaimana yang tertera dalam judul pada puisi di atas, tentu para penikmat puisi tidak akan merasa kebingungan dengan apa yang hendak disampaikan dalam puisi tersebut, mengingat pemilihan judul yang dipakai oleh penulis sudah cukup memberikan gambaran bahwasanya sesuatu yang hendak dijelaskan dalam puisi tersebut merupakan sebuah perayaan untuk sebuah kemenangan bagi kaum muslim sehingga pembaca tidak akan seberapa sulit memahami setiap kata yang hendak dituangkan dalam puisi tersebut.

Pada puisi tersebut, tepatnya kalimat yang tertera di awal puisi. Maksud yang diutarakan dalam puisi tersebut merupakan penjelasan dari istimewahnya bulan sebelum syawal yaitu bulan ramadhan. Mengingat, pada bulan tersebut pintu taubat dibuka serta segala hal baik termasuk ibadah juga akan dilipatkan gandanya apabila ada seseorang yang hendak melaksanakannya.  Selain itu pada bulan ramadhan tersebut terdapat waktu malam yang ditunggu dan diharapkan oleh seluruh umat islam yaitu malam lailatul qodar. Namun, dalam puisi tersebut dijelasakan bahwa sosok yang diceritakan dalam puisi tersebut merasakan kesulitan mendapatkan malam lailatul qodar padahal ia sering melaksanakan sholat malam. Namun, malam yang lebih baik dari seribu bulan tersebut tak kunjung datang.  Hal tersebut dapat dilihat dari penggalan puisi berikut.

Telah kulaksanakan puasa ramadhanku,

telah kutegakkan shalat malam

telah kuuntaikan wirid tiap malam dan siang

Telah kuhamparkan sajadah

Yang tak hanya nuju Ka’bah

tapi ikhlas mencapai hati dan darah

Dan di malam-malam Lailatul Qadar akupun menunggu

Namun tak bersua Jibril atau malaikat lainnya

 

Kemudian, hal lain yang hendak dijelaskan dalam puisi tersebut merupakan gambaran dari seorang Tardji yang setiap hari melaksanakan ibadah secara terus menerus dengan mengharapkan suatu malam yang digambarkan pada penggalan puisi sebelumnya. Hal tersebut tertuang dalam penggalan puisi berikut ini.

Aku bilang:

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Penggalan puisi tersebut menunjukkan bahwa sosok yang digambarkan dalam puisi tersebut adalah seseorang yang sangat ahli ibadah hingga ia tidak mau batal dan mempertahankan kesuciannya dengan wudhu. Selain itu, ada hal lain yang hendak digambarkan dalam puisi tersebut . hal tersebut dapat dilihat dari penggalan puisi berikut ini.

Tardji rindu yang kau wudhukkan setiap malam

Belumlah cukup untuk menggerakkan Dia datang

Namun si bandel Tardji ini sekali merindu

Takkan pernah melupa

Takkan kulupa janji-Nya

Bagi yang merindu insya Allah ka nada mustajab Cinta

Berdasarkan penggalan di atas dapar dijelaskan bahwa kegigihan sosok yang digambarkan puisi tersebut dalam melaksanakan ibadah tidaklah cukup untuk memberinya jaminan hidup bahagia di akhirat atau bertemu dengan malam lailatul qodar mengingat malam tersebut sangat dinantikan oleh seluruh kaum muslim sehingga tidak mudah untuk memperolehnya dan hanya orang-orang beruntung yang bisa mendapatkan atau bertemu dengan malam yang penuh pahala tersebut.

Selain itu puncak dalam puisi tersebut dapat dilihat dari penggalan puisi di akhir yang memberikan gambaran tentang idul fitri yaitu perayaan kemenangan bagi orang muslim. Dimana pagi hari dilaksanakan sholat Id yang kemudian dilanjut dengan berjabat tangan guna memohon maaf terhadap sesama muslim mengingat di bulan sebelumnya pintu ampunan dibuka sehingga diharapkan ketika idul fitri tiba bisa seperti orang yang dilahirkan kembali tanpa dosa. 

Jumat, 07 Mei 2021

KRITIK/ESAI PUISI KARYA MASHURI

 

UNTAIAN KRITIK/ESAI 3 PUISI

 Karya Mashuri

HANTU KOLAM

: plung!

 

di gigir kolam
serupa serdadu lari dari perang
tampangku membayang rumpang

mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan lama

segalangnya dingin, serupa musim yang dicerai
matahari
aku terkubur sendiri di bawah timbunan
rembulan
segalanya tertemali sunyi
mungkin…

“plung!”

aku pernah mendengar suara itu
tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu
yang jatuh
kerna kini kolam tak beriak
aku hanya melihat wajah sendiri, berserak

Banyuwangi, 2012-12-03

 

HANTU MUSIM

aku hanya musim yang dikirim rebah hutan
kenangan – memungut berbuah, dedaunan, juga
unggas – yang pernah mampir di pinggir semi
semarakkan jamuan, yang kelak kita sebut
pertemuan awal, meski kita tahu, tetap mata
itu tak lebih hanya mengenal kembali peta
lama, yang pernah tergurat berjuta masa

bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular
sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan
yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang
pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu
mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh

di situ, aku panas, sekaligus dingin
sebagaimana unggas yang pernah kita lihat
di telaga, tetapi bayangannya selalu
mengirimkan warna sayu, kelabu
dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya
dengan atau tanpa cerita tentang musim
yang terus berganti…

Magelang, 2012

 

 

HANTU DERMAGA

mimpi, puisi dan dongeng
yang terwarta dari pintumu
memanjang di buritan
kisah itu tak sekedar mantram
dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar
ia serupa pendulum
yang dikulum cenayang
dermaga
ia hanya titik imaji
dari hujan yang berhenti
serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal
tertambat di terminal awal

tapi ritusmu bukan jadwal hari ini
dalam kematian, mungkin kelahiran
kedua
segalanya mengambang
bak hujan yang kembali
merki pantai
telah berpindah dan waktu pergi
menjaring darah kembali

Sidoarjo, 2012


Untaian Kritik 3 Puisi Karya Mashuri

Berbicara mengenai puisi, tentu tidaklah asing bagi kaum pelajar dan bahkan remaja pada umumnya. Ingin tau apa sih puisi itu? Tentu kan ya... Puisi merupakan sebuah karya sastra atau dapat dikatakan pula ragam sastra yang di dalamnya terdapat susunan kata-kata atau bahkan kata-kata kiasan yang memuat ungkapan ide, pikiran, serta perasaaan yang gaya bahasanya selaluterikat oleh unsur-unsurnya seperti irama, rima, baris, dan bait. Karena bentuk yang cukup menarik itulah tidak heran jika keberadaan puisi sangat digemari oleh kaum remaja, bahkan seringkali remaja menjadikan puisi sebagai bentuk rayuan terhadap lawan jenis pada umumnya.

Pada kesempatan kali ini, puisi yang akan saya baca dan kemudian akan saya tuangkan dalam bentuk kritik/esai ini adalah tiga judul puisi di atas yang ditulis oleh sastrawan yang berasal dari kota Lamongan bernama Mashuri. Beliau merupakan sosok yang cukup pandai sehingga dapat menjadi inspirator bagi kaum-kaum muda saat ini khususnya pada pelajar atau mahasiswa yang sedang melakukan studi dalam bidang sastra terlebih-lebih terhadap remaja pada umumnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa karya yang beliau tulis, mengingat bukan hanya karya sastra dalam bentuk puisi yang beliau tulis, terdapat beberapa karya lain yang pernah beliau tulis, diantaranya ada novel, cerpen, dan lain-lain. Namun, kali ini yang akan tuangkan dalam bentuk kritik/esai tidaklah semua bentuk karya sastra yang pernah beliau tulis, tetapi hanya karya sastra dalam bentuk puisi yang terdiri dari tiga judul diantaranya yaitu, pertama puisi yang berjudul “Hantu Kolam”, kedua “Hantu Musim”,dan yang ketiga yaitu “Hantu Dermaga”. Ketiga puisi tersebut merupakan karya Mashuri yang masing-masing memiliki kesamaan dalam pemilihan awalan judul yang sama-sama memakai kata “Hantu”. Hal itu pula menjadikan saya penasaran terhadap isi dari ketiga puisi yang ditulis oleh Mashuri tersebut.

Pertama, saya akan menuangkan kritik/esai terhadap puisi pertama yang berjudul “Hantu Kolam”. Sebenarnya apa sih yang dibahas dalam puisi tersebut serta apa makna yang terkandung dalam puisi tersebut? Nah, saya akan menguraikannya sesuai dengan apa yang telah saya baca dari puisi yang berjudul “Hantu Kolam” yang ditulis oleh Mashuri tersebut.   

Puisi pertama yang berjudul “Hantu Kolam” tersebut merupakan sebuah puisi yang terdiri dari 6 bait dan 23 baris. Adapun gambaran dalam puisi tersebut adalah  menggambarkan tentang keberadaan seseorang yang berdiri di pinggir kolam yang sedang berkaca-kaca menatap wajahnya sendiri melalui pantulan air yang ada di dalam kolam. Hal tersebut tampak pada penggalan bait berikut ini.

: plung!

di gigir kolam
serupa serdadu lari dari perang
tampangku membayang rumpang

dari penggalan bait tersebut terlihat jelas bahwa kata “tampangku membayang rumpang” ini dapat menunjukkan bahwa sosok yang digambarkan dalam puisi tersebut merupakan sosok yang sedang berdiri di pinggir kolam dan membungkuk menghadap ke bawah dengan menatap pergerakan air dalam kolam sehingga yang tampak dalam tatapannya tidak lain merupakan bayangannya sendiri yang diperoleh dari pantulan air yang dipandang.

Selain itu, digambarkan pula oleh penulis bahwa dalam puisi tersebut sosok yang digambarkan merupakan sosok yang sedang merenung dan meratapi kejadian di masa lampau atau teriyang-iyang oleh kenangannya yang terus membayang-bayangi dirinya, sebagaimana bayangan wajahnya yang tampak di dalam genangan air yang ada di kolam. Sehingga kenangan yang terus membayang-bayangi itu menjadikan perasaannya menjadi hanyut. Hal tersebut tampak pada penggalan bait terakhir berikut ini.

mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan
lama

Melalui penggalan bait di atas, dapat diartikan bahwa kata “terperangkap” tersebut menunjukkan kehanyutan terhadap perasaannya yang terjebak ingatan pada kejadian yang pernah ia lakukan sehingga hal itu terus  terbayang-bayang dalam dirinya. Selain itu, kesunyiannya pun dapat dilihat dari penggalan bait berikut ini

“plung!”

aku pernah mendengar suara itu
tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu
yang jatuh
kerna kini kolam tak beriak
aku hanya melihat wajah sendiri, berserak

Berdasarkan penggalan puisi di atas, dapat diartikan bahwa terdapat kejadian dalam masa lampau yang membayangi dirinya tersebut telah cukup membuat dirinya menjadi sunyi layaknya bayangan wajahnya yang terlihat dalam kolam.

Setelah saya membaca dan menuangkan hasil bacaan saya tersebut, dapat disimpulkan bahwa puisi tersebut cukup menarik dalam pemilihan kata sehingga mudah untuk dibaca dan tidak banyak menimbulkan kebingungan, namun pemakaian judul di dalam puisi tersebut nampak hanya sebuah gambaran terhadap sosok yang digambarkan dalam keadaan sunyi dan merenung memikirkan sesuatu yang mengusik kehidupannya,. Melalui kesunyian itulah oleh penulis disamakan dengan sosok hantu yang seringkali dijumpai dalam keadaan sepi dan sunyi.

Kedua, puisi yang akan selanjutnya saya tuangkan dalam bentuk esai adalah puisi yang masih dalam penulis sama yaitu Mashuri, yaitu puisi yang berjudul “Hantu Musim”. Puisi yang berjudul “Hantu Musim” tersebut merupakan puisi yang terdiri dari 3 bait dan 19 baris. Adapun gambaran dari puisi tersebut adalah menggambarkan keberadaan cuaca yang seringkali silih berganti. Namun penggambaran dalam puisi tersebut diibaratkan oleh penulis dengan memberikan gambaran dari sawah yang terkadang dingin dengan memunculkan warta kepada ular, dan terkadang pula panas dan bahkan dapat pula kembali menjadi dingin kembali. Hal tersebut tampak pada penggalan bait terakhir berikut ini.

Di situ, aku panas, sekaligus dingin

Sebagaimana unggas yang pernah kita lihat

Di telaga, tetapi bayangannya selalu

Mengirimkan warna sayu, kelabu

Dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya

Dengan atau tanpa cerita tentang musim

Yang terus berganti…

Namun, gambaran pergantian cuaca dalam puisi yang berjudul “Hantu Musim” tersebut hanyalah sebagai bentuk pengungkapan semangat dirinya dalam menginginkan kenangannya dapat kembali dijalankan. Artinya, bahwa pergantian cuaca yang terus berganti secara tiba-tiba datangnya seperti hantu tersebut tidak dapat menjadi halangan untuknya dalam menginginkan kenangannya dapat kembali dijalankan. Melihat hal seperti ini dapat disimpulkan bahwa sosok yang diceritakan dalam puisi tersebut sedang menginginkan cinta yang pernah ia jalani bersama seseorang dapat terulang kembali mengingat banyak hal yang dapat merubah dirinya serta banyak hal yang telah ia lakukan bersama, namun harapan menjalankan kembali bersamanya tidak semudah ia menumbuhkan semangat dalam dirinya padahal dalam pikirannya berdua sama-sama ada keinginan untuk mengulang kembali mengingat cintanya yang tumbuh sudah begitu besar.

 Berdasarkan gambaran di atas, dapat saya simpulkan bahwa puisi kedua yang berjudul “Hantu Musim” ini memiliki keterkaitan dengan puisi yang pertama. Hal itu tampak pada alur yang dijelaskan dalam puisi pertama dan kedua. Pada puisi pertama sosok yang digambarkan sedang merenung memikirkan kenangan namun belum diutarakan kenangan apa yang terbesit dan terbayang-bayang di pikirannya. Namun, pada puisi kedua yang berjudul “Hantu Musim” mulai disebutkan bahwa sosok yang digambarkan dalam puisi tersebut memikirkan tentang kekasih yang pernah menjalani hubungan bersamanya.  

Ketiga, selanjutnya puisi karya Mashuri yang akan saya tuangkan dalam bentuk esai adalah puisi yang berjudul “Hantu Dermaga”.  Puisi tersebut terdiri dari 2 bait dan 20 baris. Adapun gambaran dalam puisi tersebut tampak pada wujud dermaga. Sebagaimana dermaga sendiri yang memili arti tembok rendah yang memanjang dan menjorok ke laut sebagai tempat pangkalan dan bongkar muat barang yang memberikan pengertian terhadap sosok yang dijelaskan dalam puisi tersebut adalah bahwa cinta yang dirasakan begitu dalam dan tidak mampu dipisahkan. Ibarat jauhnya kapal yang telah berjalan melalui dermaga menuju ke suatu tempat yang paling jauh, sama halnya dengan perasaan yang dimiliki tidak akan dapat dipisahkan dengan jarak begitu pula dengan kematian.

Berdasarkan uraian ketiga puisi di atas, dapat dikaitkan dalam kehidupan pada masa sekarang khususnya bagi kaum remaja yang sering kita jumpai sedang mengalami kegalauan akibat mengenang masa lalunya yang begitu indah mengingat banyak hal yang pernah ia lakukan. Bahkan, ada pula yang merasakan kegalauan hingga berdampak pada bunuh diri yang ia lakukan. Hal itu menandakan bahwa cinta yang dirasakan begitu melekat dalam dirinya dan tidak mampu dipisahkan, sehingga ketika ia tidak mampu mengulang cintanya, ia lebih rela untuk mengorbankan hidupnya dengan bunuh diri.

 

 

KRITIK/ESAI SASTRA DARI KUMPULAN CERPEN KARYA M. SHOIM ANWAR (“Sorot Mata Syaila”, “Sepatu Jinjit Aryanti” , “Bambi dan Perempuan Bersel...