Jumat, 07 Mei 2021

KRITIK/ESAI PUISI KARYA MASHURI

 

UNTAIAN KRITIK/ESAI 3 PUISI

 Karya Mashuri

HANTU KOLAM

: plung!

 

di gigir kolam
serupa serdadu lari dari perang
tampangku membayang rumpang

mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan lama

segalangnya dingin, serupa musim yang dicerai
matahari
aku terkubur sendiri di bawah timbunan
rembulan
segalanya tertemali sunyi
mungkin…

“plung!”

aku pernah mendengar suara itu
tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu
yang jatuh
kerna kini kolam tak beriak
aku hanya melihat wajah sendiri, berserak

Banyuwangi, 2012-12-03

 

HANTU MUSIM

aku hanya musim yang dikirim rebah hutan
kenangan – memungut berbuah, dedaunan, juga
unggas – yang pernah mampir di pinggir semi
semarakkan jamuan, yang kelak kita sebut
pertemuan awal, meski kita tahu, tetap mata
itu tak lebih hanya mengenal kembali peta
lama, yang pernah tergurat berjuta masa

bila aku hujan, itu adalah warta kepada ular
sawah hasratku, yang tergetar oleh percumbuan
yang kelak kita sebut sebagai cinta, entah yang
pertama atau keseribu, kerna di situ, aku mampu
mengenal kembali siku, lingkar, bulat, penuh

di situ, aku panas, sekaligus dingin
sebagaimana unggas yang pernah kita lihat
di telaga, tetapi bayangannya selalu
mengirimkan warna sayu, kelabu
dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya
dengan atau tanpa cerita tentang musim
yang terus berganti…

Magelang, 2012

 

 

HANTU DERMAGA

mimpi, puisi dan dongeng
yang terwarta dari pintumu
memanjang di buritan
kisah itu tak sekedar mantram
dalihmu tuk sekedar bersandar bukan gerak lingkar
ia serupa pendulum
yang dikulum cenayang
dermaga
ia hanya titik imaji
dari hujan yang berhenti
serpu ruh yang terjungkal, aura terpenggal dan kekal
tertambat di terminal awal

tapi ritusmu bukan jadwal hari ini
dalam kematian, mungkin kelahiran
kedua
segalanya mengambang
bak hujan yang kembali
merki pantai
telah berpindah dan waktu pergi
menjaring darah kembali

Sidoarjo, 2012


Untaian Kritik 3 Puisi Karya Mashuri

Berbicara mengenai puisi, tentu tidaklah asing bagi kaum pelajar dan bahkan remaja pada umumnya. Ingin tau apa sih puisi itu? Tentu kan ya... Puisi merupakan sebuah karya sastra atau dapat dikatakan pula ragam sastra yang di dalamnya terdapat susunan kata-kata atau bahkan kata-kata kiasan yang memuat ungkapan ide, pikiran, serta perasaaan yang gaya bahasanya selaluterikat oleh unsur-unsurnya seperti irama, rima, baris, dan bait. Karena bentuk yang cukup menarik itulah tidak heran jika keberadaan puisi sangat digemari oleh kaum remaja, bahkan seringkali remaja menjadikan puisi sebagai bentuk rayuan terhadap lawan jenis pada umumnya.

Pada kesempatan kali ini, puisi yang akan saya baca dan kemudian akan saya tuangkan dalam bentuk kritik/esai ini adalah tiga judul puisi di atas yang ditulis oleh sastrawan yang berasal dari kota Lamongan bernama Mashuri. Beliau merupakan sosok yang cukup pandai sehingga dapat menjadi inspirator bagi kaum-kaum muda saat ini khususnya pada pelajar atau mahasiswa yang sedang melakukan studi dalam bidang sastra terlebih-lebih terhadap remaja pada umumnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan beberapa karya yang beliau tulis, mengingat bukan hanya karya sastra dalam bentuk puisi yang beliau tulis, terdapat beberapa karya lain yang pernah beliau tulis, diantaranya ada novel, cerpen, dan lain-lain. Namun, kali ini yang akan tuangkan dalam bentuk kritik/esai tidaklah semua bentuk karya sastra yang pernah beliau tulis, tetapi hanya karya sastra dalam bentuk puisi yang terdiri dari tiga judul diantaranya yaitu, pertama puisi yang berjudul “Hantu Kolam”, kedua “Hantu Musim”,dan yang ketiga yaitu “Hantu Dermaga”. Ketiga puisi tersebut merupakan karya Mashuri yang masing-masing memiliki kesamaan dalam pemilihan awalan judul yang sama-sama memakai kata “Hantu”. Hal itu pula menjadikan saya penasaran terhadap isi dari ketiga puisi yang ditulis oleh Mashuri tersebut.

Pertama, saya akan menuangkan kritik/esai terhadap puisi pertama yang berjudul “Hantu Kolam”. Sebenarnya apa sih yang dibahas dalam puisi tersebut serta apa makna yang terkandung dalam puisi tersebut? Nah, saya akan menguraikannya sesuai dengan apa yang telah saya baca dari puisi yang berjudul “Hantu Kolam” yang ditulis oleh Mashuri tersebut.   

Puisi pertama yang berjudul “Hantu Kolam” tersebut merupakan sebuah puisi yang terdiri dari 6 bait dan 23 baris. Adapun gambaran dalam puisi tersebut adalah  menggambarkan tentang keberadaan seseorang yang berdiri di pinggir kolam yang sedang berkaca-kaca menatap wajahnya sendiri melalui pantulan air yang ada di dalam kolam. Hal tersebut tampak pada penggalan bait berikut ini.

: plung!

di gigir kolam
serupa serdadu lari dari perang
tampangku membayang rumpang

dari penggalan bait tersebut terlihat jelas bahwa kata “tampangku membayang rumpang” ini dapat menunjukkan bahwa sosok yang digambarkan dalam puisi tersebut merupakan sosok yang sedang berdiri di pinggir kolam dan membungkuk menghadap ke bawah dengan menatap pergerakan air dalam kolam sehingga yang tampak dalam tatapannya tidak lain merupakan bayangannya sendiri yang diperoleh dari pantulan air yang dipandang.

Selain itu, digambarkan pula oleh penulis bahwa dalam puisi tersebut sosok yang digambarkan merupakan sosok yang sedang merenung dan meratapi kejadian di masa lampau atau teriyang-iyang oleh kenangannya yang terus membayang-bayangi dirinya, sebagaimana bayangan wajahnya yang tampak di dalam genangan air yang ada di kolam. Sehingga kenangan yang terus membayang-bayangi itu menjadikan perasaannya menjadi hanyut. Hal tersebut tampak pada penggalan bait terakhir berikut ini.

mataku berenang
bersama ikan-ikan, jidatku terperangkap
koral di dasar yang separuh hitam
dan gelap
tak ada kecipak yang bangkitkan getar
dada, menapak jejak luka yang sama
di medan
lama

Melalui penggalan bait di atas, dapat diartikan bahwa kata “terperangkap” tersebut menunjukkan kehanyutan terhadap perasaannya yang terjebak ingatan pada kejadian yang pernah ia lakukan sehingga hal itu terus  terbayang-bayang dalam dirinya. Selain itu, kesunyiannya pun dapat dilihat dari penggalan bait berikut ini

“plung!”

aku pernah mendengar suara itu
tapi terlalu purba untuk dikenang sebagai batu
yang jatuh
kerna kini kolam tak beriak
aku hanya melihat wajah sendiri, berserak

Berdasarkan penggalan puisi di atas, dapat diartikan bahwa terdapat kejadian dalam masa lampau yang membayangi dirinya tersebut telah cukup membuat dirinya menjadi sunyi layaknya bayangan wajahnya yang terlihat dalam kolam.

Setelah saya membaca dan menuangkan hasil bacaan saya tersebut, dapat disimpulkan bahwa puisi tersebut cukup menarik dalam pemilihan kata sehingga mudah untuk dibaca dan tidak banyak menimbulkan kebingungan, namun pemakaian judul di dalam puisi tersebut nampak hanya sebuah gambaran terhadap sosok yang digambarkan dalam keadaan sunyi dan merenung memikirkan sesuatu yang mengusik kehidupannya,. Melalui kesunyian itulah oleh penulis disamakan dengan sosok hantu yang seringkali dijumpai dalam keadaan sepi dan sunyi.

Kedua, puisi yang akan selanjutnya saya tuangkan dalam bentuk esai adalah puisi yang masih dalam penulis sama yaitu Mashuri, yaitu puisi yang berjudul “Hantu Musim”. Puisi yang berjudul “Hantu Musim” tersebut merupakan puisi yang terdiri dari 3 bait dan 19 baris. Adapun gambaran dari puisi tersebut adalah menggambarkan keberadaan cuaca yang seringkali silih berganti. Namun penggambaran dalam puisi tersebut diibaratkan oleh penulis dengan memberikan gambaran dari sawah yang terkadang dingin dengan memunculkan warta kepada ular, dan terkadang pula panas dan bahkan dapat pula kembali menjadi dingin kembali. Hal tersebut tampak pada penggalan bait terakhir berikut ini.

Di situ, aku panas, sekaligus dingin

Sebagaimana unggas yang pernah kita lihat

Di telaga, tetapi bayangannya selalu

Mengirimkan warna sayu, kelabu

Dan kita selalu ingin mengulang-ulangnya

Dengan atau tanpa cerita tentang musim

Yang terus berganti…

Namun, gambaran pergantian cuaca dalam puisi yang berjudul “Hantu Musim” tersebut hanyalah sebagai bentuk pengungkapan semangat dirinya dalam menginginkan kenangannya dapat kembali dijalankan. Artinya, bahwa pergantian cuaca yang terus berganti secara tiba-tiba datangnya seperti hantu tersebut tidak dapat menjadi halangan untuknya dalam menginginkan kenangannya dapat kembali dijalankan. Melihat hal seperti ini dapat disimpulkan bahwa sosok yang diceritakan dalam puisi tersebut sedang menginginkan cinta yang pernah ia jalani bersama seseorang dapat terulang kembali mengingat banyak hal yang dapat merubah dirinya serta banyak hal yang telah ia lakukan bersama, namun harapan menjalankan kembali bersamanya tidak semudah ia menumbuhkan semangat dalam dirinya padahal dalam pikirannya berdua sama-sama ada keinginan untuk mengulang kembali mengingat cintanya yang tumbuh sudah begitu besar.

 Berdasarkan gambaran di atas, dapat saya simpulkan bahwa puisi kedua yang berjudul “Hantu Musim” ini memiliki keterkaitan dengan puisi yang pertama. Hal itu tampak pada alur yang dijelaskan dalam puisi pertama dan kedua. Pada puisi pertama sosok yang digambarkan sedang merenung memikirkan kenangan namun belum diutarakan kenangan apa yang terbesit dan terbayang-bayang di pikirannya. Namun, pada puisi kedua yang berjudul “Hantu Musim” mulai disebutkan bahwa sosok yang digambarkan dalam puisi tersebut memikirkan tentang kekasih yang pernah menjalani hubungan bersamanya.  

Ketiga, selanjutnya puisi karya Mashuri yang akan saya tuangkan dalam bentuk esai adalah puisi yang berjudul “Hantu Dermaga”.  Puisi tersebut terdiri dari 2 bait dan 20 baris. Adapun gambaran dalam puisi tersebut tampak pada wujud dermaga. Sebagaimana dermaga sendiri yang memili arti tembok rendah yang memanjang dan menjorok ke laut sebagai tempat pangkalan dan bongkar muat barang yang memberikan pengertian terhadap sosok yang dijelaskan dalam puisi tersebut adalah bahwa cinta yang dirasakan begitu dalam dan tidak mampu dipisahkan. Ibarat jauhnya kapal yang telah berjalan melalui dermaga menuju ke suatu tempat yang paling jauh, sama halnya dengan perasaan yang dimiliki tidak akan dapat dipisahkan dengan jarak begitu pula dengan kematian.

Berdasarkan uraian ketiga puisi di atas, dapat dikaitkan dalam kehidupan pada masa sekarang khususnya bagi kaum remaja yang sering kita jumpai sedang mengalami kegalauan akibat mengenang masa lalunya yang begitu indah mengingat banyak hal yang pernah ia lakukan. Bahkan, ada pula yang merasakan kegalauan hingga berdampak pada bunuh diri yang ia lakukan. Hal itu menandakan bahwa cinta yang dirasakan begitu melekat dalam dirinya dan tidak mampu dipisahkan, sehingga ketika ia tidak mampu mengulang cintanya, ia lebih rela untuk mengorbankan hidupnya dengan bunuh diri.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KRITIK/ESAI SASTRA DARI KUMPULAN CERPEN KARYA M. SHOIM ANWAR (“Sorot Mata Syaila”, “Sepatu Jinjit Aryanti” , “Bambi dan Perempuan Bersel...