Sabtu, 24 April 2021

Kritik Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki”

Karya M. Shoim Anwar

 

Cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” ini merupakan salah satu karya sastra dari seorang sastrawan bernama M. Shoim Anwar. Sebelum saya mengulas cerpen karya beliau, saya terlebih dahulu mengulas tentang sosok beliau. M. Shoim Anwar, beliau merupakan seorang sastrawan yang lahir di Desa Sanbung Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan seorang sastrawan yang kiprahnya sangat bagus bahkan beliau beberapa kali menjuarai lomba. Salah satunya adalah menjuarai lomba menulis secara berturut-turut yang diadakan oleh Dewan Kesenian Surabaya (1988, 1989, 1990) dan juga pernah menjuarai lomba menulis cerpen dan esai yang diadakan oleh Depdiknas (2001, 2002, 2003, 2005, 2006, 2007). Beliau juga pernah mendapatkan penghargaan seni dari Gubernur Jawa Timur pada tahun 2008. Oleh karena itu, kiprahnya dalam dunia sastra sudah tidak dapat diragukan lagi. Bahkan beberapa cerpen yang ditulisnya telah dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis. Dan tentu masih banyak hal lain dalam perjalanan karirnya di dunia sastra yang patut diacungi jempol namun tidak dapat saya jelaskan secara keseluruhan. Setelah menengok kiprah dari seorang M. Shoim Anwar yang sangat menginspirasi banyak kalangan terutama para mahasiswa inilah, saya tertarik untuk mengulas salah satu karya beliau berupa cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki.

Sebagaimana yang tertulis dalam judul cerpen tesebut, cerpen ini mengisahkan tentang seseorang perempuan bernama Sulastri yang menjadi tokoh utama dan seorang empat lelaki yang diantaranya adalah Polisi, Markam (Suami Sulastri), Fir’aun serta Musa. Menengok ke dalam awal paragraf dalam cerpen tersebut. Bagi pembaca, terutama dari kalangan muslim tentu tidak asing lagi ketike membaca paragraf pertama dalam cerpen tersebut yang terdapat istilah Laut Merah. Laut merah sendiri merupakan sebuah teluk yang terletak di sebelah barat jazirah Arab yang keberadaan teluk tersebut memisahkan dua benua, yaitu benua Asia dan Afrika. Dan tentu, hanya dengan membaca istilah laut merah saja kita akan dihadapkan pada sikap penasaran yang mendalam karena berbagai faktor misalkan kisah Nabi Musa AS yang menenggalamkan Fir’aun dan para pengikutmya, warna dari teluk tersebut, serta keberadaan air yang cukup asin.

Dengan menengok keberadaan istilah Laut Merah dalam cerpen tersebut, tentu sudah dipastikan bahwa dalam cerpen tersebut kisah yang diceritakan merupakan kisah seseorang yang tinggal di daratan Timur tengah. Namun, siapakah sosok tersebut? Tentu tidak lain dan tidak bukan dialah Sulastri. Dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa Sulastri merupakan seorang perempuan asal Indonesia yang berada di daratan Timur tengah. Apa yang Sulastri lakukan di sana? Tentu tidak lain dan tidak bukan dan sudah dipastikan bahwa keberadannya di sana adalah untuk memperkerjakan dirinya guna menafkahi keluarga. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,” kata perempuan tadi terbata-bata, menujukkan nama dan asalnya.

Melihat kutipan di atas, sudah cukup membuktikan bahwa sosok Sulastri bukanlah seseorang yang asli penduduk sana, melainkan penduduk asal Indonesia. Sehingga saya dapat menyimpulkan bahwa sosok Sulastri merupakan seorang yang jika tidak menjalankan ibadah, mengunjungu tempat-tempat sejarah, maka beliau merupakan seorang tenaga kerja di sana. Namun, melihat alur dalam cerpen tersebut memang ia sedang memperkerjakan dirinya di daratan Timur tengah sana karena kecewa akan perilaku suaminya yang bernama Markan yang justru melakukan hal syirik dengan menduakan Tuhan yang dibuktikan dengan perilakunya dalam bertapa untuk mendapatkan benda-benda pusaka, namun dirinya membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawanya. Kekesalan Sulastri terhadap suaminya dalam cerpen tersebut dapat dilihat dari bukti kutipan berikut ini.

“Tanam tembakau di tepi bengawan makin tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”

Dalam kutipan di atas, dapat dijelaskan bahwa Sulastri sebagai seorang istri hendak mengingatkan kepada suaminya bahwa yang ia lakukan tidaklah berguna, dan tidak akan dapat memberikan manfaat bagi keluarganya namun hanya dapat menyengsarakannya. Bukti kutipan lain yang menjadi bukti kekesalan seorang Sulastri terhadap Markam suaminya dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

 

“Kau bukan Siddhartha, sang pertapa Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan untuk aku dan anak-anak!”

Meskipun Sulastri sudah berkeluh kesah kepada perilaku Markam suaminya, namun sama sekali tidak ada respon dari Markam, dan justru enggan untuk mendengarkannya. Hal-hal seperti ini sering kita jumpai dalam kejadian nyata di kehidupan sehari-hari, sebagaimana di daerah-daerah tertentu yang ada di Indonesia masih banyak orang-orang yang percaya terhadap hal-hal mistik tersebut dengan bertapa beberapa malam untuk mendapatkan barang-barang atau benda-benda yang diinginkan yang terkadang digunakan untuk membentengi dirinya dalam menghadapi serangan musuh. Namun, perlu dicatat bahwa jika hanya melakukan pertapaan tanpa memikirkan keberadaan keluarga dan anak-anak, hal itu tentu akan berdampak pada kesengsaraan anak dan suami. Mengingat, dalam cerpen tersebut keberadaan Markam suaminya hanya mementingkan keinginannya sendiri dalam memuaskan hasrat untuk mendapatkan benda-benda keramat yang diinginkan tanpa emmikirkan keluarganya. Kejadian seperti ini juga dapat menjadi pelajaran bagi para remaja dan remaji saat ini, bahwa jangan tergesah-gesah untuk menikah mengingat kesiapan mental dalam mengarungi rumah tangga harus benar-benar siap sehingga antara kedua belah pihak dapat saling mengayomi, dan bukan justru memberatkan salah satu karena lebih mementingkan hasrat atau keinginan untuk bersenang-senang.  

Dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” tersebut juga terdapat kemiripan dengan kisah dalam peristiwa lampau yang terjadi dalam sejarah islam yaitu kisah Nabi Musa dengan seorang Raja bernama Fir’aun yang memiliki keangkuhan, serta menganggap dirinya Tuhan sehingga semua orang harus tunduk dan mudah ia perbudak. Hal tersebut dapat kita lihat dalam kutipan berikut ini.

“Sesosok tubuh tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.”

“Firauuun…!”  serta dalam kutipan berikut ini..

“Tak usah takut hai, Budak!” kata Firaun.

“Aku bukan budak.…”

“Ooo…siapa yang telah membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”

Dari kutipan di atas dapat kita lihat bahwa keberadaan Fir’aun dalam cerpen tersebut menunjukkan sikap yang seenaknya sendiri dengan menganggap semua orang itu budak. Adapun kemiripan dengan peristiwa dalam sejarah dalam islam dengan kisah Fir’aun dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” tersebut pada pengejaran yang dilakukan oleh Fir’aun terhadap Sulastri yang mengingatkan pada peristiwa dalam sejarah islam ketika Raja Fir’aun mengejar Nabi Musa dengan keretanya bersama-sama dengan pengikutnya. Namun, jika dalam peristiwa lampau dalam sejarah islam tersebut yang menjadi sasaran pengejaran adalah Nabi Musa AS, sedangkan dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki”  Sulastri. Pengejaran yang dilakukan terhadap Sulastri dapat dilihat dari kutipan berikut ini.

“Hai, jangan berlari! Kau datang ke sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke hadapanku!”

Fir’aun terus mengejar Sulastri yang terus berlari menghindari kejaran Fir’aun. Namun, ketika jarak sudah semakin mendekat, Sulastri bertemu dengan sosok lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh tinggi besar, dan berjenggot panjang. Lelaki tersebut mengenakan kain putih menutup perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajah tampak teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Sehingga hal itu membuat Sulastri gemeteran untuk memanggilnya, dialah Musa. Ketika berbicara mengenai sosok yang ditemui Sulastri ketika hendak menghindari kejaran Fir’aun dalam cerpen tersebut juga mengingatkan kita kepada sosok Nabi Musa AS yang diberikan mukjizat oleh Allah SWT berupa tongkat yang dimiliki. Di dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki”sosok Musa juga digambarkan dengan membawa tongkat sehingga memiliki kiripan dengan peristiwa dalam sejarah muslim.

 Ketika bertemu dengan Musa, Sulastri hendak memberikan pertolongan terhadap dirinya. di awal Sulatri memohon pertolongan, Musa enggan memberikan pertolongan karena ia menganggap bahwa ia masuk dalam daratan dengan haram. Namun, perlahan Sulastri hendak menjelaskan bahwa ia dilantarkan oleh suaminya. Lagi-lagi Musa memberikan jawaban yang secara halus memberikan perlawanan terhadap permintaan Sulastri yang dilontarkan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.

“Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”

“Suamimu seorang penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”

“Saya seorang perempuan, Ya Musa.”

“Perempuan atau laki diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”

Kemudian dalam cerpen tersebut juga dijelaskan mengenai ucapan Musa yang memberikan gambaran kepada Sulastri bahwa sebenarnya negerinya merupaka negara yang memiliki kekayaan yang sangat melimpah, namun dalam negeri tersebut seringkali bahkan sudah menjadi tradisi bahwa seorang pemimpin dipastikan serakah ketia menduduki jabatan yang tinggi dengan memakan uang rakyat dan memuaskannya sendiri. Bahkan beberapa kali keberadaan rakyat sering diperalat untuk memperoleh dukungan ketika hendak ada pemilihan umum dengan menjanjikan kepada rakyat akan hal-hal yang dapat menghipnotis daya tarik rakya, namun ketika sudah menjadi penguasa ia lebih mementingkan dirinya dan golongannya. Hal tersebut juga sering terjadi dalam dunia nyata. Keserakahan tersebut dapat dilihat dalam kutipan cerpen berikut ini.

“Para pemimpin negerimu serakah.”

“Kami tak kebagian, Ya Musa”

“Mereka telah menjarah kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”

“Kami tak memperoleh keadilan, Ya Musa.”

“Di negerimu keadilan telah jadi slogan.”

“Tolonglah saya, Ya Musa.”

“Para pemimpin negerimu juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang murah.”

Setelah mendengarkan jawaban Musa yang dimintai pertolongan oleh Sulastri, tidak lama kemudian angin datang bergemuruh sehingga membuat penglihatan Sulastri menghablur terhadap Musa. Hal itu kemudian mendorongnya untuk berlai kembali agar terhindar dari  kejaran Fir’aun yang terus mengejarnya. Ketika Sulastri sudah kehabisan nafas dan oleng, lelaki yang tadinya dipanggil Musa yang sebelumnya memberikan penolakan atas permintaan tolong yang dilontarkan oleh Sulastri kemudian muncul kembali di hadapannya. Namun, kali ini ia datang sebagai siluet yang samar. Kemudian Sulastri memeluknya erat-erat sebagai salah satu jalan terakhir untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran Fir’aun. Pada saat itu pula Sulastri merasakan ada benda yang digenggamnya. Ternyata makin kuat dan nyata yang ia pegang adalah tongkat, kemudian Sulastri memegangnya dengan kedua tangannya. Ketika Sulastri memegang kuat tongkat tersebut, Sulastri merasakan keringanan pada tubuhnya dan merasa ada yang memompa dirinya, hingga jarak Fir’aun semakin mendekat kepada Sulastri dan hendak menerkamnya kemudian Sulastri memukulkan tongkat tersebut kepada Fir’aun. Seperti sebuah timbakar yang pecah, tubuh Fir’aun menjadi berkeping-keping di pasir. Dari dalam laut Sulastri melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh Firaun.

Setelah membaca gambaran cerita di atas, lagi-lagi muncul sebuah kemiripan dengan peristiwa yang terjadi dalam Nabi Musa AS yang memili tongkat yang dapat berubah menjadi ular dan menelan semua ular palsu dari tukang sihir serta mampu membela laut dengan hanya memukulkan ke dalam laut. Kemiripan dalam peristiwa tersebut dengan keistimewaan yang ada dalam cerpen tersebut adalah sama-sama terdapat sebuah tongkat yang sakti yang dapat menyelamatkan dari kejaran Fir’aun.

Berdasarkan gambaran di atas, cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” dapat memberikan penjelasan dari berbagai segi, diantaranya politik, sosial, ekonomi, dan religi. Dalam segi politik dapat kita lihat dalam cerpen tersebut yang mengisahkan keberadaan seorang penguasa yang lebih mementingkan kekuasaannya sendiri karena merasa pangkat dan derajatnya lebih tinggi sehingga ia seenaknya menindas rakyat kecil, bahkan seringkali jatah uang rakyat justru dimakan untuk memuaskan dirinya sendiri. Jika dilihat dari segi sosial dan ekonomi, dapat dilihat dari gambaran dalam cerpen tersebut yang mengisahkan sosok Sulastri yang mengalami permasalahan sosial dalam hidupnya mengingat keberadaan suami yang tidak mmapu ia rubah untuk berhenti bertapa dan menginginkan untuk mau mengurusi keluarga, namun ia tidak mampu melakukannya, sehingga ia merasa keluarganya tidak bisa sejahtera. Permasalahan sosial yang terjadi dalam keluarga Sulastri juga berdampak pada ekonomi yang menerpanya. Ia harus jatuh bangun untuk memenuhi kehidupannya bahkan ia sampai pergi ke negeri lain guna menafkahi anak-anaknya. Sungguh sangat perihatin kepada sosok Sulastri yang merasakan penderitaan akibat perilaku suaminya. Dan yang terakhir jika dilihat dari segi religi, dalam cerpen tersebut khususnya pada sosok suami Sulastri yang masih percaya terhadap hal-hal mistis dengan dibuktikan dengan pertapaan yang dilakukan Markam dalam mengharapkan kedatangan benda-benda pusaka. Hal itu juga masih sering terjadi dalam dunia nyata mengingat masih banyak orang yang menyembah pohon-pohon besar untuk dilakukan pertapaan bahkan ada yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan jodoh.

Cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” sangatlah menarik, hal itu terlihat dalam kisah atau gambaran dalam cerpen tersebut yang memiliki kemiripan dengan kisah pada Nabi Musa AS dan Raja Fir’aun sehingga dapat memberikan daya tarik bagi pembaca untuk melihat segi kemiripan dan perbedaan antara kisah dalam Cerpen tersebut dengan kisah yang terjadi pada zaman Nabi Musa AS. Kemudian dengan membaca cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” secara keseluruh terdapat amanat bahwa ketika jadi pemimpin, bersikaplah adil dan bijaksana dan jangan mementingkan kepuasan diri sendiri. Dan janganlah merasa senang apabila bahagia di atas penderitaan orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KRITIK/ESAI SASTRA DARI KUMPULAN CERPEN KARYA M. SHOIM ANWAR (“Sorot Mata Syaila”, “Sepatu Jinjit Aryanti” , “Bambi dan Perempuan Bersel...