Minggu, 30 Mei 2021

 KRITIK / ESAI PUISI “SAJAK PALSU” KARYA AGUS R. SARJONO 

SAJAK PALSU

Agus R. Sarjono

. pagi pak, selamat pagi bu, ucap anak sekolah
dengan sapaan palsu. Lalu merekapun belajar
sejarah palsu dari buku-buku palsu. Di  akhir sekolah
mereka terperangah melihat hamparan nilai mereka
yang palsu. Karena tak cukup nilai, maka berdatanganlah
mereka ke rumah-rumah bapak dan ibu guru
untuk menyerahkan amplop berisi perhatian
dan rasa hormat palsu. Sambil tersipu palsu
dan membuat tolakan-tolakan palsu, akhirnya pak guru
dan bu guru terima juga amplop itu sambil berjanji palsu
untuk mengubah nilai-nilai palsu dengan
nilai-nilai palsu yang baru. Masa sekolah
demi masa sekolah berlalu, merekapun lahir
sebagai ekonom-ekonom palsu, ahli hukum palsu,
ahli pertanian palsu, insinyur palsu.
Sebagian menjadi guru, ilmuwan
atau seniman palsu. Dengan gairah tinggi
mereka  menghambur ke tengah pembangunan palsu
dengan ekonomi palsu sebagai panglima
palsu. Mereka saksikan
ramainya perniagaan palsu dengan ekspor
dan impor palsu yang mengirim dan mendatangkan
berbagai barang kelontong kualitas palsu.
Dan bank-bank palsu dengan giat menawarkan bonus
dan hadiah-hadiah palsu tapi diam-diam meminjam juga
pinjaman dengan ijin dan surat palsu kepada bank negeri
yang dijaga pejabat-pejabat palsu. Masyarakatpun berniaga
dengan uang palsu yang dijamin devisa palsu. Maka
uang-uang asing menggertak dengan kurs palsu
sehingga semua blingsatan dan terperosok krisis
yang meruntuhkan pemerintahan palsu ke dalam
nasib buruk palsu. Lalu orang-orang palsu
meneriakkan kegembiraan palsu dan mendebatkan
gagasan-gagasan palsu di tengah seminar
dan dialog-dialog palsu menyambut tibanya
demokrasi palsu yang berkibar-kibar begitu nyaring
dan palsu.

1998


UNTAIAN KRITIK / ESAI PUISI “SAJAK PALSU” KARYA AGUS R. SARJONO

Puisi di atas merupakan sebuah karya sastra dari seorang penyair yang bernama Agus R. Sarjono yang lahir di Bandung pada tanggal 27 Juli 1962. Berbicara mengenai sajak atau puisi itu merupakan sebuah ungkapan yang berasal dari imajinasi pengarang atau penyair yang ingin memberikan gambaran tentang suatu kejadian, memberikan ungkapan dari segala isi hatinya, atau bahkan memberikan gambaran terhadap sosok dirinya sendiri dan lain sebagainya. Begitu pula dalam puisi yang berjudul “Sajak Palsu” yang ditulis oleh Agus R. Sarjono di atas merupakan sebuah suguhan dari salah satu realita yang terjadi di dalam negara Indonesia. Melalui puisi yang ditulis tersebut penyair hendak memotret kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan, instansi pemerintahan serta dalam dunia kerja yang penuh dengan kepalsuan dan kebohongan.

Di dalam membaca kutipan puisi di atas, Ada hal yang cukup menggilitik jiwa dan raga saya sebagai mahasiswa yang melakukan studi pada jurusan pendidikan ini, mengingat dalam puisi tersebut terdapat sindiran keras yang dilontarkan terhadap seorang guru yang penuh dengan kepalsuan terhadap apa yang ia berikan terhadap muridnya sehingga kelak melahirkan sosok-sosok yang penuh dengan kebohongan yang dapat menghancurkan Negara.

Bentuk sindiran yang dilontarkan dalam puisi tersebut menitikberatkan kepada peran dari seorang guru dan orang tua murid yang sering terjadi di Indonesia. Pada saat di dalam kelas, tentu seorang guru berperan sebagai pengajar dan pendidik yang melakukan tugas sesuai dengan aturan dan peran sebagai seorang pengajar. Namun diluar kelas, mereka seolah-olah tidak memiliki atau tidak ingat peranannya sebagai pengajar. Hal itu dapat dilihat dari penilaian guru yang tidak berbasis kinerja sehingga terkadang karena malas berpikir, dan lemah iman sehingga satu-satunya hal yang dapat dilakukan adalah memalsukan nilai akibat mendapat tuntutan dari orang tua yang memiliki ambisi agar anaknya cepat memperoleh ijazah sebagai tanda kelulusan. Dari sinilah lahirlah pemikiran sesat yang mengakui bahwa ijazah dengan nilai tinggi adalah segalanya dalam hidup yang menganggap bahwa setelah memperoleh ijazah maka persoalan hidup telah selesai. Seringkali yang diagungkan oleh guru hanyalah nilai yang tertera di dalam ijazah tanpa harus melihat bagaimana proses atau cara untuk memperoleh ijazah tersebut.

Namun, sebagai mahasiswa yang bergelut di dunia pendidikan, saya memberikan tanggapan bahwa dengan adanya kritikan dan lontaran pedas yang disampaikan oleh penyair melalui puisi di atas dapat menigkatkan kejelasan niat serta tujuan menjadi seorang guru bahwa menjadi seorang guru merupakan seseorang yang nantinya akan menentukan masa depan orang lain khususnya bagi generasi muda yang nantinya menjadi penentu bagi berjalannya sebuah Negara agar tidak terpuruk sehingga kejujuran harus ditegakkan agar Negara tidak mengalami kehancuran. Selain itu, adanya puisi tersebut dapat menjadi bahan refleksi untuk guru yang ada di Indonesia untuk dapat membuktikan bahwa guru mampu mempertahankan gelarnya sebagai pahlawan tanda jasa serta dapat memajukan pendidikan di Indonesia.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KRITIK/ESAI SASTRA DARI KUMPULAN CERPEN KARYA M. SHOIM ANWAR (“Sorot Mata Syaila”, “Sepatu Jinjit Aryanti” , “Bambi dan Perempuan Bersel...