Kritik
Cerpen “Sulastri dan Empat Lelaki”
Karya M. Shoim Anwar
Cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat
Lelaki” ini merupakan salah satu karya sastra dari seorang sastrawan bernama M.
Shoim Anwar. Sebelum saya mengulas cerpen karya beliau, saya terlebih dahulu
mengulas tentang sosok beliau. M. Shoim Anwar, beliau merupakan seorang
sastrawan yang lahir di Desa Sanbung Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Beliau
merupakan seorang sastrawan yang kiprahnya sangat bagus bahkan beliau beberapa
kali menjuarai lomba. Salah satunya adalah menjuarai lomba menulis secara
berturut-turut yang diadakan oleh Dewan Kesenian Surabaya (1988, 1989, 1990)
dan juga pernah menjuarai lomba menulis cerpen dan esai yang diadakan oleh
Depdiknas (2001, 2002, 2003, 2005, 2006, 2007). Beliau juga pernah mendapatkan
penghargaan seni dari Gubernur Jawa Timur pada tahun 2008. Oleh karena itu, kiprahnya
dalam dunia sastra sudah tidak dapat diragukan lagi. Bahkan beberapa cerpen
yang ditulisnya telah dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan
Prancis. Dan tentu masih banyak hal lain dalam perjalanan karirnya di dunia
sastra yang patut diacungi jempol namun tidak dapat saya jelaskan secara keseluruhan.
Setelah menengok kiprah dari seorang M. Shoim Anwar yang sangat menginspirasi
banyak kalangan terutama para mahasiswa inilah, saya tertarik untuk mengulas
salah satu karya beliau berupa cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki.
Sebagaimana yang tertulis dalam judul cerpen
tesebut, cerpen ini mengisahkan tentang seseorang perempuan bernama Sulastri
yang menjadi tokoh utama dan seorang empat lelaki yang diantaranya adalah
Polisi, Markam (Suami Sulastri), Fir’aun serta Musa. Menengok ke dalam awal paragraf
dalam cerpen tersebut. Bagi pembaca, terutama dari kalangan muslim tentu tidak
asing lagi ketike membaca paragraf pertama dalam cerpen tersebut yang terdapat
istilah Laut Merah. Laut merah sendiri merupakan sebuah teluk yang terletak di
sebelah barat jazirah Arab yang keberadaan teluk tersebut memisahkan dua benua,
yaitu benua Asia dan Afrika. Dan tentu, hanya dengan membaca istilah laut merah
saja kita akan dihadapkan pada sikap penasaran yang mendalam karena berbagai
faktor misalkan kisah Nabi Musa AS yang menenggalamkan Fir’aun dan para
pengikutmya, warna dari teluk tersebut, serta keberadaan air yang cukup asin.
Dengan menengok keberadaan istilah Laut Merah
dalam cerpen tersebut, tentu sudah dipastikan bahwa dalam cerpen tersebut kisah
yang diceritakan merupakan kisah seseorang yang tinggal di daratan Timur
tengah. Namun, siapakah sosok tersebut? Tentu tidak lain dan tidak bukan dialah
Sulastri. Dalam cerpen tersebut diceritakan bahwa Sulastri merupakan seorang
perempuan asal Indonesia yang berada di daratan Timur tengah. Apa yang Sulastri
lakukan di sana? Tentu tidak lain dan tidak bukan dan sudah dipastikan bahwa
keberadannya di sana adalah untuk memperkerjakan dirinya guna menafkahi
keluarga. Hal itu dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
“Ismiy Sulastri. Ana Indonesiya,” kata perempuan tadi
terbata-bata, menujukkan nama dan asalnya.
Melihat kutipan di atas, sudah cukup
membuktikan bahwa sosok Sulastri bukanlah seseorang yang asli penduduk sana,
melainkan penduduk asal Indonesia. Sehingga saya dapat menyimpulkan bahwa sosok
Sulastri merupakan seorang yang jika tidak menjalankan ibadah, mengunjungu
tempat-tempat sejarah, maka beliau merupakan seorang tenaga kerja di sana. Namun,
melihat alur dalam cerpen tersebut memang ia sedang memperkerjakan dirinya di daratan
Timur tengah sana karena kecewa akan perilaku suaminya yang bernama Markan yang
justru melakukan hal syirik dengan menduakan Tuhan yang dibuktikan dengan
perilakunya dalam bertapa untuk mendapatkan benda-benda pusaka, namun dirinya
membiarkan istri dan anak-anaknya jatuh bangun mempertahankan nyawanya. Kekesalan
Sulastri terhadap suaminya dalam cerpen tersebut dapat dilihat dari bukti
kutipan berikut ini.
“Tanam tembakau di tepi bengawan makin
tak berharga. Dipermainkan pabrik rokok. Aku tak sanggup begini terus. Apakah
anak-anak akan kau beri makan keris dan tombak tua?”
Dalam kutipan di atas, dapat
dijelaskan bahwa Sulastri sebagai seorang istri hendak mengingatkan kepada
suaminya bahwa yang ia lakukan tidaklah berguna, dan tidak akan dapat
memberikan manfaat bagi keluarganya namun hanya dapat menyengsarakannya. Bukti kutipan
lain yang menjadi bukti kekesalan seorang Sulastri terhadap Markam suaminya
dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Kau bukan Siddhartha, sang pertapa
Gotama dari Kerajaan Sakya yang pergi bertapa meninggalkan kemewahan. Istri dan
anaknya ditinggal dengan harta berlimpah. Tapi kau meninggalkan kemelaratan
untuk aku dan anak-anak!”
Meskipun Sulastri sudah berkeluh kesah kepada perilaku
Markam suaminya, namun sama sekali tidak ada respon dari Markam, dan justru
enggan untuk mendengarkannya. Hal-hal seperti ini sering kita jumpai dalam
kejadian nyata di kehidupan sehari-hari, sebagaimana di daerah-daerah tertentu
yang ada di Indonesia masih banyak orang-orang yang percaya terhadap hal-hal mistik
tersebut dengan bertapa beberapa malam untuk mendapatkan barang-barang atau
benda-benda yang diinginkan yang terkadang digunakan untuk membentengi dirinya
dalam menghadapi serangan musuh. Namun, perlu dicatat bahwa jika hanya
melakukan pertapaan tanpa memikirkan keberadaan keluarga dan anak-anak, hal itu
tentu akan berdampak pada kesengsaraan anak dan suami. Mengingat, dalam cerpen
tersebut keberadaan Markam suaminya hanya mementingkan keinginannya sendiri
dalam memuaskan hasrat untuk mendapatkan benda-benda keramat yang diinginkan
tanpa emmikirkan keluarganya. Kejadian seperti ini juga dapat menjadi pelajaran
bagi para remaja dan remaji saat ini, bahwa jangan tergesah-gesah untuk menikah
mengingat kesiapan mental dalam mengarungi rumah tangga harus benar-benar siap
sehingga antara kedua belah pihak dapat saling mengayomi, dan bukan justru
memberatkan salah satu karena lebih mementingkan hasrat atau keinginan untuk
bersenang-senang.
Dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan
Empat Lelaki” tersebut juga terdapat kemiripan dengan kisah dalam peristiwa
lampau yang terjadi dalam sejarah islam yaitu kisah Nabi Musa dengan seorang
Raja bernama Fir’aun yang memiliki keangkuhan, serta menganggap dirinya Tuhan
sehingga semua orang harus tunduk dan mudah ia perbudak. Hal tersebut dapat
kita lihat dalam kutipan berikut ini.
“Sesosok tubuh
tiba-tiba merekah. Tubuh yang sering diingat sebagai sang penerkam
sekonyong-konyong muncul dari dalam laut. Sulastri menjerit menyebut namanya.”
“Firauuun…!” serta dalam
kutipan berikut ini..
“Tak usah takut hai, Budak!” kata
Firaun.
“Aku bukan budak.…”
“Ooo…siapa yang telah
membayar untuk membebaskanmu? Semua adalah milikku. Semua adalah aku!”
Dari kutipan di atas dapat kita lihat bahwa keberadaan Fir’aun dalam
cerpen tersebut menunjukkan sikap yang seenaknya sendiri dengan menganggap semua
orang itu budak. Adapun kemiripan dengan peristiwa dalam sejarah dalam islam
dengan kisah Fir’aun dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki”
tersebut pada pengejaran yang dilakukan oleh Fir’aun terhadap Sulastri yang
mengingatkan pada peristiwa dalam sejarah islam ketika Raja Fir’aun mengejar
Nabi Musa dengan keretanya bersama-sama dengan pengikutnya. Namun, jika dalam
peristiwa lampau dalam sejarah islam tersebut yang menjadi sasaran pengejaran
adalah Nabi Musa AS, sedangkan dalam cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat
Lelaki” Sulastri. Pengejaran yang
dilakukan terhadap Sulastri dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
“Hai, jangan berlari! Kau datang ke
sini untuk menghambakan diri. Kau adalah budak milik tuanmu. Tunduklah ke
hadapanku!”
Fir’aun terus mengejar Sulastri yang terus berlari
menghindari kejaran Fir’aun. Namun, ketika jarak sudah semakin mendekat,
Sulastri bertemu dengan sosok lelaki setengah tua, rambut putih sebahu, tubuh
tinggi besar, dan berjenggot panjang. Lelaki tersebut mengenakan kain putih
menutup perut hingga lutut. Ada selempang menyilang di bahu kanannya. Wajah tampak
teduh. Tangan kanannya membawa tongkat dari kayu kering. Sehingga hal itu
membuat Sulastri gemeteran untuk memanggilnya, dialah Musa. Ketika berbicara
mengenai sosok yang ditemui Sulastri ketika hendak menghindari kejaran Fir’aun
dalam cerpen tersebut juga mengingatkan kita kepada sosok Nabi Musa AS yang
diberikan mukjizat oleh Allah SWT berupa tongkat yang dimiliki. Di dalam cerpen
yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki”sosok Musa juga digambarkan dengan
membawa tongkat sehingga memiliki kiripan dengan peristiwa dalam sejarah
muslim.
Ketika bertemu dengan Musa,
Sulastri hendak memberikan pertolongan terhadap dirinya. di awal Sulatri
memohon pertolongan, Musa enggan memberikan pertolongan karena ia menganggap bahwa
ia masuk dalam daratan dengan haram. Namun, perlahan Sulastri hendak
menjelaskan bahwa ia dilantarkan oleh suaminya. Lagi-lagi Musa memberikan
jawaban yang secara halus memberikan perlawanan terhadap permintaan Sulastri
yang dilontarkan. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“Saya ditelantarkan suami, Ya Musa.”
“Suamimu seorang
penyembah berhala. Mengapa kau bergantung padanya?”
“Saya seorang perempuan,
Ya Musa.”
“Perempuan atau laki
diwajibkan mengubah nasibnya sendiri.”
Kemudian dalam cerpen tersebut juga dijelaskan mengenai
ucapan Musa yang memberikan gambaran kepada Sulastri bahwa sebenarnya negerinya
merupaka negara yang memiliki kekayaan yang sangat melimpah, namun dalam negeri
tersebut seringkali bahkan sudah menjadi tradisi bahwa seorang pemimpin
dipastikan serakah ketia menduduki jabatan yang tinggi dengan memakan uang
rakyat dan memuaskannya sendiri. Bahkan beberapa kali keberadaan rakyat sering
diperalat untuk memperoleh dukungan ketika hendak ada pemilihan umum dengan
menjanjikan kepada rakyat akan hal-hal yang dapat menghipnotis daya tarik
rakya, namun ketika sudah menjadi penguasa ia lebih mementingkan dirinya dan
golongannya. Hal tersebut juga sering terjadi dalam dunia nyata. Keserakahan tersebut
dapat dilihat dalam kutipan cerpen berikut ini.
“Para pemimpin negerimu serakah.”
“Kami tak kebagian, Ya
Musa”
“Mereka telah menjarah
kekayaan negeri untuk diri sendiri, keluarga, golongan, serta para cukongnya.”
“Kami tak memperoleh
keadilan, Ya Musa.”
“Di negerimu keadilan
telah jadi slogan.”
“Tolonglah saya, Ya
Musa.”
“Para pemimpin negerimu
juga tak bisa menolong. Kau hanya dibutuhkan saat pemilu. Setelah itu kau dijadikan barang dagangan yang
murah.”
Setelah mendengarkan jawaban Musa yang dimintai
pertolongan oleh Sulastri, tidak lama kemudian angin datang bergemuruh sehingga
membuat penglihatan Sulastri menghablur terhadap Musa. Hal itu kemudian
mendorongnya untuk berlai kembali agar terhindar dari kejaran Fir’aun yang terus mengejarnya. Ketika
Sulastri sudah kehabisan nafas dan oleng, lelaki yang tadinya dipanggil Musa
yang sebelumnya memberikan penolakan atas permintaan tolong yang dilontarkan
oleh Sulastri kemudian muncul kembali di hadapannya. Namun, kali ini ia datang
sebagai siluet yang samar. Kemudian Sulastri memeluknya erat-erat sebagai salah
satu jalan terakhir untuk menyelamatkan dirinya dari kejaran Fir’aun. Pada saat
itu pula Sulastri merasakan ada benda yang digenggamnya. Ternyata makin kuat
dan nyata yang ia pegang adalah tongkat, kemudian Sulastri memegangnya dengan
kedua tangannya. Ketika Sulastri memegang kuat tongkat tersebut, Sulastri
merasakan keringanan pada tubuhnya dan merasa ada yang memompa dirinya, hingga
jarak Fir’aun semakin mendekat kepada Sulastri dan hendak menerkamnya kemudian
Sulastri memukulkan tongkat tersebut kepada Fir’aun. Seperti sebuah timbakar
yang pecah, tubuh Fir’aun menjadi berkeping-keping di pasir. Dari dalam laut Sulastri
melihat semacam ular besar menjulur dan menyedot kepingan-kepingan tubuh
Firaun.
Setelah membaca gambaran cerita di atas, lagi-lagi muncul sebuah
kemiripan dengan peristiwa yang terjadi dalam Nabi Musa AS yang memili tongkat
yang dapat berubah menjadi ular dan menelan semua ular palsu dari tukang sihir
serta mampu membela laut dengan hanya memukulkan ke dalam laut. Kemiripan dalam
peristiwa tersebut dengan keistimewaan yang ada dalam cerpen tersebut adalah
sama-sama terdapat sebuah tongkat yang sakti yang dapat menyelamatkan dari
kejaran Fir’aun.
Berdasarkan gambaran di atas, cerpen
yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” dapat memberikan penjelasan dari berbagai
segi, diantaranya politik, sosial, ekonomi, dan religi. Dalam segi politik
dapat kita lihat dalam cerpen tersebut yang mengisahkan keberadaan seorang
penguasa yang lebih mementingkan kekuasaannya sendiri karena merasa pangkat dan
derajatnya lebih tinggi sehingga ia seenaknya menindas rakyat kecil, bahkan
seringkali jatah uang rakyat justru dimakan untuk memuaskan dirinya sendiri.
Jika dilihat dari segi sosial dan ekonomi, dapat dilihat dari gambaran dalam
cerpen tersebut yang mengisahkan sosok Sulastri yang mengalami permasalahan
sosial dalam hidupnya mengingat keberadaan suami yang tidak mmapu ia rubah
untuk berhenti bertapa dan menginginkan untuk mau mengurusi keluarga, namun ia
tidak mampu melakukannya, sehingga ia merasa keluarganya tidak bisa sejahtera. Permasalahan
sosial yang terjadi dalam keluarga Sulastri juga berdampak pada ekonomi yang
menerpanya. Ia harus jatuh bangun untuk memenuhi kehidupannya bahkan ia sampai
pergi ke negeri lain guna menafkahi anak-anaknya. Sungguh sangat perihatin
kepada sosok Sulastri yang merasakan penderitaan akibat perilaku suaminya. Dan yang
terakhir jika dilihat dari segi religi, dalam cerpen tersebut khususnya pada
sosok suami Sulastri yang masih percaya terhadap hal-hal mistis dengan
dibuktikan dengan pertapaan yang dilakukan Markam dalam mengharapkan kedatangan
benda-benda pusaka. Hal itu juga masih sering terjadi dalam dunia nyata
mengingat masih banyak orang yang menyembah pohon-pohon besar untuk dilakukan
pertapaan bahkan ada yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan jodoh.
Cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat Lelaki” sangatlah menarik, hal
itu terlihat dalam kisah atau gambaran dalam cerpen tersebut yang memiliki
kemiripan dengan kisah pada Nabi Musa AS dan Raja Fir’aun sehingga dapat
memberikan daya tarik bagi pembaca untuk melihat segi kemiripan dan perbedaan
antara kisah dalam Cerpen tersebut dengan kisah yang terjadi pada zaman Nabi
Musa AS. Kemudian dengan membaca cerpen yang berjudul “Sulastri dan Empat
Lelaki” secara keseluruh terdapat amanat bahwa ketika jadi pemimpin,
bersikaplah adil dan bijaksana dan jangan mementingkan kepuasan diri sendiri. Dan
janganlah merasa senang apabila bahagia di atas penderitaan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar